Rabu, 08 Agustus 2018 09:40 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, mengatakan enggan mematuhi sanksi baru dari Amerika Serikat (AS) terhadap negara tetangganya Iran.
Menurutnya, sanksi yang dijatuhi oleh AS adalah sebuah kesalahan strastegis. "Kami tidak mendukung sanksi karena mereka merupakan kesalahan strategis, tetapi kami akan mematuhi mereka," katanya.
"Secara umum, sanksi tidak adil," tegasnya seperti dikutip dari AFP, Rabu (8/8/2018).
Irak adalah importir terbesar kedua produk non-hidrokarbon Iran, dengan nilai mencapai USD6 miliar barang dari tetangga timurnya pada tahun 2017 lalu.
Irak juga membeli listrik yang dihasilkan Iran dalam upaya menangani pemadaman listrik kronis yang telah menjadi faktor kunci pemicu protes massal dalam beberapa pekan terakhir. "Kami berkomitmen untuk melindungi rakyat kami dan kepentingan mereka," kata Abadi.
Baghdad bersekutu dengan Washington, mitra strategis dalam perang terhadap ISIS dan menyaksikan kemenangan Irak di akhir 2017.
Tetapi Baghdad juga memiliki hubungan yang kuat dengan Teheran, sebuah kelompok kekuatan Syiah yang sangat terlibat dalam urusan politik Irak.
Perusahaan-perusahaan swasta Iran baru-baru ini memutus pasokan listrik ke provinsi pesisir Basra, Irak, yang kaya minyak, karena pembayaran yang belum lunas.
Amerika Serikat pada Selasa kembali memberlakukan gelombang sanksi sepihak terhadap Iran yang telah dicabut pada tahun 2015 di bawah perjanjian nuklir penting antara Teheran dan kekuatan dunia.
Presiden Donald Trump menarik AS dari kesepakatan pada bulan Mei, memicu pemberlakukan sanksi yang menargetkan akses Iran ke uang kertas AS dan industri utama, termasuk mobil dan karpet.
Sanksi itu diatur untuk diikuti oleh gelombang kedua pada 5 November, menargetkan sektor minyak dan gas Teheran - sektor vital bagi ekonominya - dan Bank Sentral.
Sanksi tersebut diperkirakan akan membebani ekonomi Iran yang sudah berjuang, yang menderita dengan tingginya pengangguran dan inflasi yang melaju.
Mata uang Iran telah kehilangan hampir setengah nilainya sejak Trump mengumumkan AS akan menarik diri dari pakta nuklir.
Irak sendiri pernah menderita melalui lebih dari 12 tahun sanksi internasional yang keras dimulai pada tahun 1990 setelah Saddam Hussein menyerang Kuwait.(exe/ist)