Selasa, 28 November 2017 22:36 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Badan Arbritrase Nasional Indonesia (BANI) mendorong revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa guna mewujudkan kepastian hukum yang mengikat.
Ketua BANI Husseyn Umar mengatakan selama ini pelaku usaha nyaman menggunakan mekanisme arbitrase dalam penyelesaian sengketa, tetapi di lain sisi, putusan arbitrase masih dapat dilakukan pembatalan oleh pengadilan.
"Pada usia ke-40 tahun hari ini, BANI secara kelembagaan terus mendorong agar UU Arbitrase dapat direvisi. Hal ini sangat diperlukan bagi pemenuhan prinsip final dan mengikat dalam putusannya. Implikasi lanjutan dari pemenuhan prinsip ini adalah meningkatnya kepercayaan dunia usaha terhadap sistem hukum di Indonesia," kata Husseyn dalam acara International Seminar: Indonesia and The Development of International Arbitration, sebagaimana keterangan di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, inisiatif revisi UU Arbitrase bisa datang dari Pemerintah dan didukung oleh DPR.
Husseyn menjelaskan bahwa peran Negara sangat penting untuk menciptakan serta mendukung sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Dukungan Negara dan peradilan terhadap penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilainya dapat mendorong gairah dunia usaha, terlebih ditengah derasnya kompetisi global.
"Kita bisa mencontoh Singapura dan Malaysia. Pemerintahnya mendukung penuh serta memberikan dukungan bagi keberadaan dan perkembangan lembaga arbitrase di sana. Tidak hanya mengenai hal yang berkenaan dengan sarana juga kepastian hukum bagi pelaksanaan putusannya," papar dia.
Arbiter BANI Frans Hendra Winarta mengatakan dalam revisi UU Arbitrase perlu diperhatikan prinsip-prinsip saling menghargai pilihan cara atau mekanisme penyelesaian sengketa antara para pihak yang berkontrak melalui proses arbitrase.
"Para pihak yang sudah memilih melalui arbitrase harus dihargai. Prinsip-prinsip arbitrase harus masuk dalam revisi nanti," kata dia.
Sementara itu praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan saat ini kepercayaan dunia usaha, terlebih dari luar negeri, masih rendah terhadap sistem arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia.
Menurut Todung, perubahan fundamental sistem ini harus bermula dari pemenuhan prinsip final dan mengikat.
"Arbitrase dan mediasi ideal kita masih belum baik. Sudah saatnya reformasi fundamental sistem alternatif penyelesaian sengketa kita. Kelemahan UU Arbitrase kita ada pada pemenuhan prinsip final dan mengikat, ini masalahnya," kata Todung. (ant)