Kamis, 18 Mei 2017 11:01 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menolak wacana penghapusan pasal penodaan/penistaan agama di wilayah hukum Indonesia. Di negara sekular saja, kata dia, ada pasal penistaan agama.
Yusril menilai, di negara demokrasi seperti Indonesia, setiap warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan pikiran dan pendapat. Sebab, hal itu dijamin oleh UUD 45. Termasuk pula hak untuk menyuarakan penghapusan pasal-pasal penodaan dan penistaan agama sebagaimana diatur dalan UU No 1/PNPS/1965 dan Pasal 156 serta Pasal 156a KUHP.
"Namun, setiap warga negara berhak pula menyuarakan aspirasi sebaliknya, yakni mempertahankan ketentuan hukum yang mengatur penodaan dan penistaan agama itu. Bahkan mengubah sanksinya menjadi lebih berat lagi," ujar Yusril dalam keterangan pers, Kamis (18/5/2017).
Tahun 2009, jelas Yusril, pernah ada sekelompok orang yang meminta Mahkamah Konsitisui (MK) untuk membatalkan UU No 1/PNPS/1965. Jika permohonan itu dikabulkan, maka praktis ketentuan Pasal 156a KUHP juga hapus, karena keberadaan Pasal 156a itu justru dimasukkan oleh UU No 1/PNPS/1965 ke dalam KUHP.
Namun permohonan itu ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009. MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat pasal-pasal penodaan dan penistaan agama dalam UU No 1/PNPS/1965 itu sejalan dengan UUD 45 yang menjunjung tinggi keberadaan agama. Karena itu, setiap bentuk penodaan dan penistaan terhadap agama wajib diberi sanksi pidana.
"Saya sepenuhnya sependapat dengan MK," tegas Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut.
Meski demikian, Yusril sependapat jika rumusan norma pasal-pasal dalam UU No 1/PNPS/1965 dan Pasal 156 serta 156a perlu disempurnakan agar lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum serta mempertimbangkan perkembangan zaman. Hanya saja, menghapuskan begitu saja aturan-aturan tersebut tanpa ada penggantinya yang lebih baik, adalah suatu kecerobohan. Dalam suasana kevakuman hukum seperti itu, menurut dia, bukan mustahil perbuatan penodaan dan penistaan terhadap agama akan merajajela dan negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindaknya.
Agama, kata Yusril, adalah fenomena universal. Banyak negara, termasuk negara yang secara resmi sekuler juga memberikan sanksi bagi mereka yang menista agama.
"Di Philipina misalnya, meski konstitusinya mengatakan bahwa Philipina adalah negara sekuler, penistaan agama tetap diberi sanksi pidana. Apalagi bagi negara kita, yang berdasarkan Pancasila, kedudukan agama sangat fundamental," tegas dia.
Pembukaan UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa terjadi berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Pasal 29 UUD 45, lanjuta dia, dengan tegas pula menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Yusril, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
"Karena agama-agama itu dipeluk, diyakini dan diamalkan oleh pemeluk-pemeluknya, dan kita menyadari adanya perbedaan ajaran agama, maka tugas negara adalah melindungi agama-agama tersebut termasuk dari setiap bentuk penodaan dan penistaan. Bentuk perlindungan dari sudut hukum antara lain adalah memberikan ancaman sanksi pidana bagi yang melakukannya," papar Yusril.