Kamis, 25 Februari 2021 22:33 WIB
Gorontalo, Tigapilarnews.com - Pembangunan Gorontalo Outer Ring Road (GORR) sebagai solusi untuk mengurai kepadatan kendaraan sedang menghadapi masalah hukum di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Gorontalo.
Pembayaran ganti rugi tanah lokasi GORR yang berasal dari APBD provinsi Gorontalo menjadi sumber masalahnya. Pertanyaannya siapa pelakunya?
Berapa total anggaran yang dialokasikan dalam APBD provinsi Gorontalo?
Apakah ada oknum pejabat yang melakukan korupsi dari proses pembayaran pembebasan lahan?
Berapa warga yang sudah dibayar dan berapa yang belum dibayar?
Pertanyaan ini tidak mudah menjawabnya tanpa melalui pembuktian di pengadilan Tipikor. Ganti rugi tanah diatur di dalam UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Didalam Pasal 3 disebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Siapa yang membayar pembebasan lahan? yaitu pemerintah dan atau pemerintah daerah (Pasal 4 ayat 2). Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil (Pasal 9 ayat 2).
Apakah proyek GORR termasuk kategori kepentingan umum? Jika melihat fungsinya untuk akses transportasi, maka tentu masuk dalam kategori kepentingan umum, terlebih kota Gorontalo sebagai ibukota provinsi, sudah sepatutnya pemerintah memudahkan akses transportasi masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Jika dalam proses pembebasan lahan GORR terjadi permasalahan hukum khususnya dugaan korupsi, hemat penulis sangat tidak tepat jika dengan secara prematur menumpahkan kesalahan atau memvonis seseorang sebagai pelaku korupsi sedangkan proses hukum di Tipikor sedang berjalan.
Oleh karena proses hukum sedang berjalan, maka alat bukti merupakan faktor kunci yang harus terungkap di pengadilan Tipikor. Bersamaan dengan itu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) merupakan asas yang harus dihormati oleh siapa saja. Asas ini diatur secara tegas di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga di dalam KUHAP. Di dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 disebutkan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Artinya orang yang sudah ditahanpun belum bisa divonis bersalah sampai betul-betul ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Mengapa asas praduga tak bersalah ini merupakan hal penting dalam proses penegakan hukum?, karena pada prinsipnya hukumlah yang harus menetapkan seseorang sebagai orang yang bersalah melalui putusan pengadilan, itupun seseorang yang sudah ditetapkan bersalah, masih memiliki hak untuk melakukan upaya hukum ke tingkatan diatasnya untuk menguji putusan pengadilan sebelumnya.
Dengan demikian sangatlah prematur jika ada pihak yang menuduh atau memvonis seseorang sebagai orang yang bersalah sedangkan proses hukum masih sedang berjalan. Menghormati asas praduga tak bersalah itu sesungguhnya bagian dari upaya untuk menghilangkan kesewenang-wenangan dari pihak lain kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sekaligus sebagai perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dijamin oleh negara.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum di Gorontalo.