Senin, 06 Mei 2019 12:27 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Kisruh salah input Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dinilai sudah tak lagi bisa dilihat sebagai masalah teknis-kasuistis.
Kekacauan ini dianggap sudah menjadi problem sistemik yang mengancam kredibilitas dan kepercayaan penyelenggara pemilu.
"Kekeliruan input bukan hanya terjadi sekali, tapi ratusan kali. Bahkan Tim IT Badan Pemenangan Nasional (BPN) dan Relawan Prabowo-Sandi telah menemukan 12.550 kasus salah input data dalam Situng KPU," tutur Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya.
Fadli mengaku orang yang pertama meminta agar dilakukan audit forensik siste teknologi dan informasi KPU sejak September 2018. Tujuannya untuk mendeteksi data DPT amburadul dan sistem yang bisa manipulatif dengan algoritma tertentu.
Menurut dia, ada 17,5 juta nama dalam daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah hasil temuan Tim IT BPN. Forensik diperlukan agar bisa menjamin keamanan dan mencegah intruder dari luar. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi. Namun sayangnya, permintaan audit forensik tersebut tidak direspons.
Meski telah ditemukan banyak kekeliruan dan kejanggalan, kata dia, respons KPU selalu normatif. Respons KPU yang kerap mengatakan faktor human error.
"Saya kira tak lagi bisa dimaklumi. Selain tak menyelesaikan masalah, respons tersebut justru menandakan sikap kurang bertanggung jawab," tutur Wakil Ketua DPR itu.
Pada Jumat 3 Mei 2019, Fadli mengaku bersama Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria menggunakan hak pengawasan melakukan sidak ke KPU untuk menyampaikan keresahan publik sekaligus meminta keterangan dari komisioner KPU.
"Kami diterima lengkap oleh Ketua KPU, Komisioner KPU, serta pejabat Setjen. Setelah dialog dan berdebat, kami melakukan peninjauan langsung ke ruang server dan operation room," ungkapnya.
Secara sederhana dari sidak tersebut, Fadli bisa menyimpulkan Situng KPU "longgar". Aturan validasinya lemah. Sehingga celah bagi terjadinya manipulasi sangat besar.
"Saya kira hal itu menjelaskan kenapa salah input C1 dalam Situng KPU terjadi begitu masif. KPU saya kira tak lagi bisa berlindung di balik disclaimer yang menyebutkan bahwa apa yang ditampillan dalam Situng bukanlah hasil resmi," katanya.
Dari sidak selama tiga jam di KPU, kata di, ada lima catatan yang menandai kelemahan serius Situng KPU. Kelemahan tersebut sebagian besar adalah hal elementer yang secara teknis sebenarnya tak perlu terjadi. Jadi, dengan kelemahan-kelemahan tersebut Situng KPU cukup jelas bersifat amatiran.
Kelemahan pertama, kata dia, terletak pada sistem penghitungan yang dibangun. Situng KPU saat ini tak dilengkapi sistem koreksi dini pada tahapan input data. Padahal untuk menerapkan fungsi tersebut, menurut beberapa ahli IT, hanya membutuhkan bahasa pemrograman yang sederhana.
Akibatnya karena verifikasi inputnya lemah, kata dia, data yang salah otomatis tetap masuk ke server KPU. Kemudian tergambarkan ke dalam grafik real count yang dilihat oleh masyarakat.
"Ini jelas merupakan kelemahan elementer yang fatal. Sebab, bagaimana bisa KPU sebagai lembaga resmi negara berani menampilkan grafik dengan data yang kebenarannya tak terjamin semacam itu?" tuturnya.
Dia memaparkan kekeliruan tersebut sebenarnya dapat diantisipasi secara otomatis sejak tahapan input data. Jika DPT setiap TPS berjumlah 300 pemilih, misalnya, maka ketika ada input suara lebih dari 300, atau lebih dari 3 digit, secara otomatis harusnya tertolak oleh sistem. Ironisnya, fungsi itu tak ada di Situng KPU saat ini.
"Jadi jika inputer atau verifikator memasukkan angka ribuan atau jutaan di TPS, angka-angka itu tetap bisa masuk server KPU," tandasnya.
Sekalipun ada mekanisme koreksi, sambung dia, proses pemberitahuan dari pusat kepada petugas verifikator di daerah dilakukan secara manual melalui Whatsapp (WA), tidak melalui sistem. Oleh karena itu tak aneh jika hingga saat ini masih ditemukan ratusan, bahkan ribuan kasus salah input dalam Situng KPU. Jika tak ada WA dari pusat pada inputer atau verifikator di KPU daerah maka tak terjadi koreksi.
"Bagaimana kesalahan-kesalahan itu bisa diketahui? Saya cek sebagian besar berasal dari protes masyarakat di media sosial. Jadi, kalau tak ada temuan atau tak ada protes maka tak akan ada koreksi," tuturnya.
Kelemahan kedua, dalam proses input masih ada data yang tak dilengkapi hasil scan lembar C1. Info dari KPU, sempat ada sekitar 1 juta file tanpa pindaian C1.
Menurut KPU, kata dia, hal tersebut disebabkan kapasitas penyimpanan data pada sistem yang telah penuh sehingga memori tak bisa menampung file yang dikirim dari KPU daerah.
Jika benar demikian, lanjut dia, apa yang dilakukan KPU selama ini sangat amatiran. Untuk hajat sebesar pemilu serentak segala kebutuhan harus dipersiapkan dengan baik, bersifat antisipatif. Soal memori dan bandwidth menurutnya adalah soal remeh temeh yang tak pantas dijadikan alasan.
Apalagi dari hasil sidak saya di KPUD Bogor, 4 Mei 2019, kata dia, pengiriman data oleh petugas input tanpa pindaian C1 ternyata secara sistem sebenarnya tak dimungkinkan. Artinya, alasan KPU tadi sebenarnya tak sesuai kondisi sebenarnya.
"Pertanyaannya kemudian adalah: jika petugas input tak bisa mengirim file ke server KPU tanpa pindaian C1, kenapa bisa sampai ada 1 juta file dalam Situng KPU yang masuk tanpa pindaian C1? Siapa pengirimnya? " tutur Fadli.
Kejanggalan ini menandakan KPU tak serius mempersiapkan infrastruktur teknologi informasinya. Ada juga delay penampakan pindaian C1 padahal teksnya sudah muncul lebih dulu.
Kelemahan ketiga, kata dia, terkait tenaga penginput data. Berdasarkan pemaparan ketua KPU, di setiap KPU Kabupaten/Kota terdapat 25 petugas input. Ada juga yang bertugas sebagai verifikator. Mereka inilah yang menjadi ujung tombak proses real count KPU.
"Masalah yang kami temukan dari paparan KPU, petugas input kerap juga menjadi verifikator. Mereka inputer tapi juga verifikator. Seharusnya tak boleh. Karena, mustahil akan ada verifikasi data yang berkualitas, jika cara kerjanya tumpang tindih seperti itu. Tugas penginput dan verifikator data harus tegas dipisahkan dan dilaksanakan oleh petugas yang berbeda," tuturnya.
Keempat, lanjut dia, KPU juga menyatakan tenaga input dan verifikator memiliki IP Address yang berbeda. Namun, ketika dikonfirmasi berapa total jumlah pasti IP Address petugas input data, tak ada yang mampu menyebutkannya. Data dasar seperti ini seharusnya wajib diketahui KPU.
Bahkan, idealnya KPU wajib melakukan pengawasan berkala terhadap trafik IP address. Berapa jumlah IP Address yang aktif, dari mana lokasinya, dan apa log aktivitasnya. "Ini semua perlu dimonitor sebagai antisipasi dan deteksi ketika ada IP address tak dikenal yang masuk ke dalam proses Situng KPU," tuturnya.
Kelemahan kelima, terkait server KPU. Menurut Fadli, informasi dari hasil pemantauan langsung, server KPU saat ini berada di tiga lokasi. Di kantor KPU, BPPT, dan Sentul. Server utama ditaruh di kantor KPU, sementara di BPPT dan Sentul difungsikan sebagai cadangan.
"Setelah melihat langsung ke lokasi server di kantor KPU RI, kondisi ruang penyimpanan server sangat tidak representatif. Sistem yang digunakannya juga sederhana. Operating systemnya menggunakan linux, database mysql, dan program php. Program-program tersebut bahkan bisa diperoleh gratis," tuturnya.
Dia menilai, secara fisik, server KPU tak representatif. Seorang ahli teknologi informasi menaksir dari segi biaya server KPU itu di kisaran Rp1 miliar-2 miliar rupiah. Begitupun dengan operation room-nya.
Berdasarkan keterangan yang didapat Fadli di lokasi, KPU juga tak menggunakan server bersertifikat ISO (The International Standardization of Organization) 27001. Padahal, sertifikat itu merupakan standar sistem manajemen keamanan informasi, atau dikenal juga dengan Information Security Management System (ISMS).
"Ketika ditanyakan adakah admin server di lokasi, dijawab tidak ada. Tidak ada yang tahu bagaimana mengakses server, login-nya. Sehingga belum bisa disimpulkan bahwa fisik server KPU itu benar-benar server KPU yang aktif," tuturnya.
Mengingat telah ditemukan banyaknya kelemahan, kata Fadli, Situng KPU harusnya tidak diteruskan. Banyaknya kasus salah input serta proses verifikasi yang lemah menjadikan Situng KPU sudah tak bisa lagi dijadikan instrumen kontrol penghitungan manual KPU.
Sistem ini dinilai Fadli sudah cacat. "Situng KPU bisa salah hitung. Ini bisa menambah kisruh dan semakin menurunkan kredibilitas KPU di mata masyarakat," tandasnya.
Menuru Fadli, semua ingin pemilu yang sudah menghabiskan biaya Rp24 triliun ini memberikan keadilan bagi semua pihak. Adil bagi peserta pemilu. Adil bagi para pemilih.
"Pemilu yang menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat Indonesia. Bukan Presiden salah input," tuturnya.(exe)