Selasa, 18 Desember 2018 02:40 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Sejarah telah mencatat lahirnya Dewan Pers Independent bermula dari adanya desakan dan tuntutan perjuangan Pers Reformis yang bertujuan untuk mengembalikan akal sehat dari absolutisme yaitu kekuasaan tanpa batas, sekaligus tuntutan dibubarkannya Departemen Penerangan RI.
Sebagai simbol kekuasaan eksekustor yang membuat paranoid bagi umat pers yang dianggap telah mengancam stabilitas negara, Meski hal itu tidak bisa pungkiri keberadaan dewan pers yang eksistensinya sudah ada sejak tahun 1966 era-nya orde baru dibawah kendali Departemen Penerangan RI saat itu.
Namun lahirnya Majelis Pers Independen yang diprakarsai oleh 26 organisasi kewartawanan adalah sebagai lokomotif yang memiliki intuisi yang senasib dan seperjuangan, sepakat untuk membuat RUU Pers sebagai "rule of the game" yaitu sebagai kitab suci bagi umat pers alias payung hukum yang mengatur tentang kebijakan secara rinci dan transparan mengenai format penetapan Dewan Pers maupun diharapkan akan menjawab persoalan-persoalan terkait delik dan sengketa terhadap pers sebagai pengejawantahan amanah UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Peran Majelis Pers juga telah banyak memberikan andil salah satunya telah meratifikasi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) menjadi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta memberikan penguatan-penguatan dan eksistensi terhadap Dewan Pers Inedependen sebagai produk dari agenda reformasi.
Hal itu berdampak nyata berkat kegigihan, semangat juang yang merindukan adanya perubahan wajah pers Indonesia yang berintegritas, bermartabat, independen dan lepas dari campur tangan dari pihak-pihak manapun.
Bukan hanya itu, Majelis Pers Independen juga meng-agendakan dan mengusulkan adanya Dewan Pers Independent sebagai amanah UU No 40 tentang Pers. Mengingat dalam UU No 40 thn 1999 tentang Pers, secara eksplisit dijelaskan "akan dibentuk Dewan Pers independen" karena didalam UU Pers disebutkan tidak ada satu pasalpun, maupun dalam Bab dan ketentuan umum keberadaan DP termaktub dalam undang undang tersebut,dan keberadaan DP bersifat Ad. Hoc. artinya diluar UU No 40 thn 1999 tentang Pers.
Hingga akhirnya terbentuklah Dewan Pers walaupun sangat jarang digunakan kalimat "independennya" yang dipimpin oleh Atma kusuma untuk satu periode dilanjutkan oleh prof Ichlasul Amal, namun sejak saat berada dinahkodai Prof. Bagir Manan mulai umat Pers mengalami masa-masa transisi karena banyak terjadi delik dan sengketa terhadap Pers, tidak diselesaikan dengan hak jawab, dan lebih diperparah lagi sejak kepemimpinan Yosef Adi Prasetyo atau yang disapa Stanley.
Banyak umat pers dimeja hijaukan duduk dibangku pesakitan hingga berujung beberapa wartawan merenggang nyawa dalam sel tralis karena sebuah berita, seperti yang dialami Muhamad Yusuf wartawan kemajuan rakyat.
Seiringnya waktu berjalan dan fenomena pers nasional kita yang kini mewarnai, gambaran ketidak-adilan, kebodohan dangkal, dan kemiskinan telah diwarnai dengan jelas dan terang benderang hingga menyilaukan mata, ada pers merah, kuning, hijau, dilangit yang biru.
Dikarena para penguasa dan pengusaha pers yang juga didominasi para politikus, hal ini membuat integritas dan independensi DP dipertaruhkan, banyak sebagian para pimpinan organisasi yang merasa prihatin atas wajah pers nasional dan kemerdekaan pers yang sudah diperjuangkan selama ini.
Sikap DP yang menggunakan politik belah bambu, yang satu diangkat dan yang satu diinjak atau pilih-pilih tebu dengan dalih memonopoli kebenaran atas nama Verifikasi organisasi maupun media.
Disadari atau tidak bahwa kemerdakaan pers saat ini dirasa sudah dibajak oleh para wartawan yang menganut mitos-mitos sesat, yang berfikir super-body, untouchable (tidak tersentuh) oleh Hukum yang syahwatnya hanya mencari-cari kesalahan orang, sebagai alat posisi tawar 'untuk mendapatkan fulus, ngga dikasih fulus bisa mangfuss.'
Ironinya yang mengklaim dirinya wartawan tanpa disiplin ilmu jurnalis yang benar dengan berbekal 'Bim salabim, Abra kadabra' maka jadilah wartawan 'muntahber' dengan beberapa ID Pers menggelantung dileher, yaitu wartawan yang muncul tanpa berita, memuakkan dan mengocok isi perut.
Adalagi muncul wartawan karbitan yaitu matang sebelum waktunya alias 'tapek bonyok' beritanya asem ajah ngga ada manis manisnya kecuali ada siraman jasmani.
Disinilah peran Majelis Pers Indonesia harus menyatukan persepsi dan mengembalikan akal sehat dan waras bagi umat pers yang tersesat dijalan yang ramai yaitu jalan yang penuh kebisingan. Riak riak fokus menari-nari dan bernyanyi dipanggung politik ditahun politik yang penuh euforia tanpa memahami problem solvingnya dengan langkah langkan cerdas dan strategis untuk kepentingan semua umat Pers, yaitu berjuang tanpa kembali dijalan yang benar.
Melalui Majelis Pers-lah satu-satunya yang mampu untuk mengembalikan roh kemerdekaan pers dan titahnya baik secara legal standing maupun stake holder relation sebagai konstituen yaitu ibu yang telah melahirkan Dewan Pers dari rahim Reformasi, hasil perjuangan dan perlawanan pejuang pers reformis yang berkeadilan, menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila Dan UUD 1945 dan selalu mengedepankan hati nurani karena itu melebihi diatas segalanya.
Namun sayangnya ide dan gagasan Majelis Pers mulai dari berdirinya Sekber yang berkantor di gedung Dewan Pers lantai 5, merumuskan dan merancang penyempurnaan UU No 40 tentang Pers, di MK maupun melalui DPR RI, hingga agenda penyelenggaraan Kongres Wartawan yang ke II (pasca kongres wartawan yang pertama diera 60-an) yang bertujuan menyatukan kembali umat Pers yang pecah pada masa itu.
Agenda utama yang sangat urgens dan krusial adalah penyempurnaan UU Pers karena hal itulah dampak multiplier efek dari pengabaian eksistensi UU Pers itu sendiri, sehingga berdampak munculnya berbagai delik dan sengketa terhadap pers.
Hal itu juga untuk menjawab tantangan Pers Nasional yang sangat memprihatinkan saat ini. Untuk itu MP memfasilitasi dengan mengafiliasi dan mengakomodir para pimpinan organisasi Pers Reformasi 98, maupun yang lahir pasca Reformasi yang memiliki platform yang sama. Namun semua kegiatan dan program kerja MP telah dibajak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan kata lain telah memanipulasi imaginasi publik dengan mengkorup kesadaran umat pers diluar kendali dan kebijakan Majelis Pers.
Apalagi Ketika banyak sebagian umat pers mempertanyakan tentang sekber pers Indonesia apakah ada keterkaitannya dengan MP, mungkin jawabannya MP tidak bertanggu jawab atas segala kegiatannya apalagi ada agenda akan membentuk Dewan Pers Independent, pada acara Mubes Pers yang diselenggarakan nanti.
Perlu menjadi catatan dan kajian untuk Sekber Pers Indonesia yang dilegalitaskan dibawah kemenkumham merupakan organisasi yang masing-masing sudah berbentuk badan hukum atau memang organisasi tanpa bentuk. Hal itu sangat wajar dan menjadi maklum memang selayaknya disatukan wadahnya menjadi satu kesatuan agar umat pers tidak menjadi bingung maupun publik limbung, mengingat Sekber yang MP bentuk adalah representatif yang bersifat ex-officio yang terdiri dari berbagai organisasi yang telah berbadan hukum, melainkan bukan organisasi tanpa struktur dan memiliki anggota baik tingkat pusat maupun daerah apalagi umat persnya. bersorak sorai seraya menghakimi tentang Dewan Pers yang naif itu, dan terkesan kegiatan mubes itu hanya rulling party.
Dengan logika akal sehat, bahwa Dewan Pers sebagai lembaga yang dibentuk melalui undang undang dan telah mendapat legitimasi melalui Kepres yang langsung ditandatangani Presiden walaupun hal itu yang dipersoalkan.
Sangat aneh bukan jika euforia sekber pers Indonesia akan membentuk Dewan Pers Independent, Apa legal standing? Apakah SK-nya dari langit? ibarat petir menyambar dimusim kemarau.
Hal yang perlu diperhatikan juga adalah tidak semudah apa yang diucapkan dan dipikirkan.
Sebagai pelaku sejarah kemerderdekaan pers, Majelis Pers memandang perlu untuk menyampaikan akal sehat untuk meneruskan dan meluruskan kemerdekaan pers dengan counter-value dan berjuang dengan cara-cara yang konstitusional dan elegan.
Jangan hanya karena kebencian kita menjadi berlaku tidak sehat, yaitu 'A. ad Libitium,' sesuka hati dan mana suka dan MP bersikap tegas setidaknya memberikan wawasan bagi umat pers, media dan organisasi kewartawanan yang ada untuk dapat berpikir lebih cerdas.
Tak heran banyak rekan-rekan pers yang dengan keterbatasannya dan kurangnya memahami hal tersebut akan terbawa arus ombak oleh laut yang dangkal karena keterbatasan informasi atas lahirnya kemerdekaan pers dan tentunya menjadi dilematis bagi perkembangan pers di Indonesia.
Demokrasi boleh-boleh saja namun harus logika baik secara Hukum, Etika dan Kemanusiaan. Memang kemerdekaan pers masih belum menjamin lahirnya pers-pers yang baik kinerjanya, sebagaimana system demokrasi ditanah air kita tidak menjamin tegaknya kedaulatan, keadilan dan hak asasi. karena Hitam Putih Republik ini dapat tergambar melalui pers. (Ozzy Sulaiman Sudiro)