Selasa, 22 Mei 2018 07:36 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua DPR Bambang Soesatyo menolak jika lembaga DPR selalu menjadi kambing hitam terkait molornya pembahasan RUU Terorisme akhir-akhir ini.
Karena itu, Bamsoet panggilan akrabnya, menegaskan dalam pembahasannya nanti akan dilakukan secara terbuka dan transparan.
“Kalau nanti ada yang menggoreng lagi, saya minta Pansus untuk melakukan rapat terbuka agar publik melihat siapa yang bermain dalam UU Antiterorisme yang diajukan sejak Februari 2016 ini,” kata Bamsoet di gedung DPR, Selasa (22/5/2018).
Dikatakan politisi Golkar ini, pemerintah sudah sepakat untuk bersikap sama dengan panja DPR agar RUU Antiterorisme segera disahkan, sehingga tak ada lagi pembahasan yang krusial dari revisi UU tersebut.
Pemerintah, lanjutnya, sudah sepakat untuk satu suara dan pimpinan DPR mengapresiasi, serta menyambut baik sikap pemerintah tersebut.
“RUU Antiterorisme akan disahkan pada akhir Mei 2018 ini. Apalagi, persoalan definisi yang diperdebatkan sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah,” jelas Bamsoet.
"Jadi, soal definisi sudah selesai. Itu yang dimasukkan dalam penjelasan," tandasnya.
Jumat Diparipurnakan
Sementara itu, Anggota Pansus Terorisme, Bobby Adhityo Rizaldi memastikan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme), akan selesai dalam waktu dekat.
"Iya, besok kita rapat Pansus, Insya Allah Jumat ini sudah selesai dan di paripurnakan," kata Bobby saat dihubungi, Senin (21/5/2018).
Sebenarnya, kata Bobby, tidak ada lagi perdebatan baik dari pihak DPR maupun pemerintah mengenai RUU Terorisme ini.
Ia juga memastikan soal definisi terorisme pun sudah dipastikan tidak ada lagi perbedaan pamdangan.
"Yang secara substantif perbedaan, soal definisi pun, hanya penempatannya yang setelah pemerintah berkonsolidasi, tetap memasukkan motif politik dalam aksi teroris di dalam definisi, yang akan ditempatkan di penjelasan pasal," ungkapnya.
Sementara, Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme DPR RI, Supiadin Aries Putra menyatakan mekanisme teknis pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penindakan terorisme akan diatur dalam peraturan turunan buatan pemerintah.
Supiadin menyatakan, peraturan itu berupa peraturan presiden (Perpres) dan peraturan pemerintah (PP). Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 43G RUU Terorisme.
Dia menjelaskan, peraturan turunan itu perlu dibuat sebab UU Nomor 34 Tahun 2004 belum menjelaskan secara detail mekanisme pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) dan tugas-tugas lainnya.
“Makanya di UU ini, dalam 100 hari, pemerintah harus membuat PP. Supaya pemerintah enggak lelet. Kalau dalam 100 hari enggak bisa buat PP penjabaran UU terorisme ini, bukan salah kami," kata Supiadin, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).
Sementara untuk pembentukan Perpres, Supiadin menambahkan, harus dibentuk oleh pemerintah melalui konsultasi dengan DPR dalam waktu maksimal setahun setelah RUU Terorisme disahkan. Perpres ini merupakan pengejawantahan keputusan politik pemerintah seperti yang disyaratkan Pasal 7 UU TNI tentang OMSP.
"Kan tidak mungkin setiap ada kejadian teroris pemerintah ngomong ke DPR, bagaimana ini? Sementara pembunuhan terus berjalan," kata Supiadin.
Sebelumnya, Ketua Panja Revisi UU Antiterorisme Muhammad Syafi'i (Gerindra) mengatakan, ada lima unsur penting soal definisi terorisme yang diinginkan DPR.
Unsur-unsur tersebut antara lain, ada tidaknya kejahatan, menimbulkan rasa takut atau teror yang masif, menimbulkan korban, merusak objek vital yang strategis, dan, ada motif politik atau tidak?.
Sementara itu, pemerintah menginginkan agar dalam definisi terorisme, poin kelima soal aksi teror memiliki motif dan tujuan politik dihilangkan.