Minggu, 18 Agustus 2024 02:10 WIB

Budaya Kepalsuan, Bahaya Bayang Kartel Politik Pilkada 2024

Editor : Yusuf Ibrahim
Pilkada 2024. (foto istimewa)

Jakarta, Tigpilarnews.com- Benny Susetyo Pakar Komunikasi Politik menjabarkan fenomena kartel politik yang mencengkeram proses demokrasi membuat rakyat kehilangan kebebasan untuk memilih pemimpin sejati, terutama menjelang Pilkada 2024. 

Menurutnya, demokrasi yang seharusnya menjadi wadah rakyat untuk menentukan arah kepemimpinan, kini justru digerogoti oleh praktik politik yang mencederai esensi demokrasi. Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam pidatonya pada 16 Agustus 2024, menegaskan bahwa demokrasi harus mengutamakan pilihan rakyat, bukan menjadi sekadar permainan kelompok tertentu yang haus kekuasaan.

"Pembajakan demokrasi oleh kartel politik semakin mengikis kebebasan rakyat untuk memilih dengan jujur dan tanpa paksaan, ancaman nyata yang menghantui pilkada mendatang.

Dalam demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila, esensi dari demokrasi itu sendiri adalah kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.

"Pancasila, sebagai ideologi negara, menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, memberikan hak kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa praktik-praktik politik yang ada seringkali bertentangan dengan nilai-nilai luhur tersebut," tambahnya.

Demokrasi yang berkualitas, dilanjutkannya, seharusnya memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih tanpa paksaan atau tekanan. Demokrasi yang sejati tidak membatasi pilihan rakyat, melainkan justru memperkuat posisi mereka sebagai pemegang kedaulatan. 

Demokrasi dalam konteks Pancasila harus menghormati prinsip kesetaraan, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik.Namun, demokrasi Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dengan adanya dominasi kartel politik yang terdiri dari kelompok-kelompok kekuatan yang mendominasi partai-partai politik, sehingga rakyat sulit untuk menentukan calon pemimpin yang benar-benar mereka inginkan.

"Partai-partai politik yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi kini seringkali dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut, yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat.

Ketika kartel politik mendominasi, proses demokrasi menjadi terdistorsi. Rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak, prestasi, dan kemampuan manajerial yang baik," jelasnya.

"Sebaliknya, yang terjadi adalah pemimpin-pemimpin yang muncul ke permukaan seringkali adalah mereka yang populer karena citra yang dibangun melalui media, bukan karena kualitas kepemimpinan yang sebenarnya. Akibatnya, demokrasi kehilangan esensi dan maknanya sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat," paparnya.

Ketika kartel politik menentukan segala cara, menurutnya lagi, untuk mempertahankan kekuasaan, demokrasi kehilangan arah dan tujuannya. Demokrasi terbesar adalah ketika rakyat tidak lagi menyadari apa makna sejati dari demokrasi itu sendiri. Makna demokrasi yang sebenarnya adalah ketika rakyat memiliki kemampuan untuk menentukan pemimpin yang mereka inginkan berdasarkan pertimbangan rasional, bukan karena tekanan atau pengaruh dari kekuatan tertentu.

"Sejalan dengan pesan Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, menegaskan bahwa  rakyat harus diberi hak untuk memilih pemimpin yang benar-benar sesuai dengan kehendak mereka, bukan yang dipaksakan oleh kekuatan politik tertentu," ujarnya.

"Demokrasi  harus memungkinkan rakyat untuk merdeka sepenuhnya dalam menentukan pemimpin mereka. Pemaksaan calon pemimpin yang belum mumpuni, yang tidak memiliki kapasitas atau rekam jejak yang jelas, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap esensi demokrasi itu sendiri," tambahnya.

Pemimpin yang sejati, seperti yang disebutkan oleh Megawati, adalah mereka yang lahir dari kehendak rakyat dan memiliki kualitas kepemimpinan yang terbukti, bukan hanya citra yang dibangun oleh media atau kekuatan politik tertentu. Pernyataan ini selaras dengan keprihatinan yang muncul dari realitas politik Indonesia saat ini, di mana pemimpin yang muncul ke permukaan seringkali bukanlah mereka yang memiliki prestasi atau kemampuan yang baik, melainkan mereka yang tidak mempuni tetapi dipaksakan dengan menggunakan kekuasaan politik.

"Megawati juga mengingatkan bahwa proses pencarian pemimpin oleh rakyat tidak boleh dimanipulasi. Proses ini harus benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan kehendak elite politik. Demokrasi Pancasila, yang menjadi fondasi bangsa ini, menuntut agar pemimpin yang dipilih adalah mereka yang mampu mengemban amanat rakyat dengan integritas dan kemampuan yang jelas," katanya. 

"Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses demokrasi seringkali diintervensi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga rakyat tidak dapat memilih dengan bebas. Inilah yang harus menjadi perhatian kita semua dalam menjaga agar demokrasi tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam situasi yang kritis,' tambahnya. 

Banyak tantangan, dikatakannya lagi, yang harus dihadapi, termasuk dominasi kartel politik yang semakin mengakar dalam sistem politik. Namun, dengan komitmen dari semua pihak, termasuk partai politik, lembaga negara, dan masyarakat, demokrasi Pancasila dapat tetap hidup dan berfungsi dengan baik. 

Dilanjutkannya, masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada kesadaran dan partisipasi aktif rakyat dalam proses politik. Pernyataan Megawati juga menekankan bahwa dalam menjaga demokrasi Pancasila, integritas pemimpin menjadi sangat penting. 

Pemimpin yang sejati adalah mereka yang memiliki integritas, jujur, dan berkomitmen untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau pribadi. Pemimpin yang demikianlah yang mampu menjaga agar demokrasi tetap hidup dan tidak terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan yang merusak. 

"Tugas partai politik adalah mencari pemimpin yang terbaik, bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan. Untuk menjaga tegaknya nilai-nilai Pancasila dalam demokrasi, elit politik harus kembali kepada cita-cita pendiri bangsa," katanya. 

"Politik harus menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar untuk merebut kekuasaan. Demokrasi Pancasila harus menjadi acuan dalam berpikir, bertindak, dan bernalar dalam politik. 

Demokrasi Pancasila harus menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan partai atau orang yang menggunakan kekuasaannya untuk membeli partai dan menjadikannya sebagai alat kepentingan politik semata," sebutnya.

Dalam konteks ini, dijelaskan Benny, kualitas demokrasi menjadi sangat penting. Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak, prestasi, dan kemampuan yang jelas. 

"Demokrasi yang berkualitas juga adalah demokrasi yang tidak terdistorsi oleh pengaruh uang atau kekuatan politik tertentu. Namun, kenyataannya, demokrasi Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan demokrasi yang sejati, di mana rakyat benar-benar memiliki kedaulatan untuk menentukan masa depan bangsa," tambahnya.

"Tantangan terbesar adalah bagaimana menghadapi dominasi kartel politik yang semakin mengakar dalam sistem politik Indonesia.

Ketika kekuatan politik yang mendominasi menentukan calon pemimpin, rakyat kehilangan kedaulatan mereka untuk memilih pemimpin yang terbaik," sebutnya.

Demokrasi yang dibajak oleh partai politik, menurutnya, akan sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara, karena akan mengakibatkan demokrasi kehilangan makna substansialnya. Makna dari demokrasi adalah bagaimana kedaulatan rakyat tidak boleh disalahgunakan oleh partai atau kekuatan uang. "Rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik, berdasarkan rekam jejak, prestasi, dan kemampuan pemimpin dalam manajemen. Namun, kenyataannya, kedaulatan rakyat seringkali kalah dengan kedaulatan uang," sebutnya.

"Kekuatan uang dapat dengan mudah menggunakan teknologi media, baik media massa maupun media sosial, untuk membangun citra calon pemimpin, sehingga seolah-olah mereka memperjuangkan kepentingan rakyat, padahal kenyataannya tidak demikian," ujarnya.

Lebih jauh menurut Romo Benny- sapaannya- salah satu masalah utama dalam demokrasi Indonesia saat ini adalah berkembangnya budaya kepalsuan. Rakyat seringkali digiring untuk memilih pemimpin berdasarkan citra yang dibangun oleh media, bukan berdasarkan realitas yang sebenarnya. 

"Akibatnya, pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak selalu memiliki kualitas yang diperlukan untuk memimpin bangsa ini menuju arah yang lebih baik. Socrates dan Plato, dua filsuf besar dari Yunani kuno, telah mengingatkan bahaya demokrasi tanpa arah yang jelas. Demokrasi tanpa diimbangi dengan pendidikan yang baik dan kemampuan untuk memahami realitas akan membuat rakyat mudah terpengaruh oleh mitos dan citra palsu," katanya.

"Dalam demokrasi yang serba instan seperti saat ini, rakyat dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan media digital yang membangun citra dan menciptakan mitos tentang pemimpin yang seolah-olah pro rakyat, padahal sebenarnya hanya memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu," bilangnya. 

Dia mencontohkan, Socrates dan Plato menggambarkan bahaya dari memilih pemimpin yang hanya populer tetapi tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai. Seorang pemimpin yang baik diibaratkan seperti nakhoda kapal yang mampu membawa kapal itu ke tujuan dengan selamat. 

"Namun, jika rakyat memilih pemimpin yang hanya populer tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan, maka kapal demokrasi akan terombang-ambing tanpa arah dan akhirnya menabrak karang," katanya.

"Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam proses demokrasi. Megawati mengingatkan bahwa Pancasila lahir dari usaha pembebasan rakyat dari imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme," tambahnya.

Nilai-nilai Pancasila, disebutkannya juga, menuntut adanya keadilan sosial dan kedaulatan rakyat, yang hanya bisa terwujud jika demokrasi berjalan dengan jujur dan adil. Namun, jika proses demokrasi terus didikte oleh kartel politik, maka cita-cita Pancasila akan semakin sulit terwujud.

Padahal, dikatakannya, demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang benar-benar mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspeknya. Demokrasi Pancasila tidak membenarkan tindakan rekayasa politik yang menghalangi rakyat untuk memilih pemimpin yang sejati. 

"Fenomena kotak kosong dan kartel politik merupakan ancaman serius bagi demokrasi Pancasila. Dalam sistem demokrasi Pancasila, tidak dibenarkan adanya calon tunggal yang sebenarnya mengkhianati amanat dari nilai-nilai Pancasila," sebutnya.

"Elite politik seharusnya memiliki etika dan kepantasan dalam berpolitik, dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai hukum tertinggi. Jika politik hanya menjadi alat untuk merebut kekuasaan, maka partai-partai politik akan menjadi benalu bagi negara ini," tambahnya.

Menjaga demokrasi Pancasila tetap hidup dan berfungsi dengan baik bukanlah tugas yang mudah. Demokrasi Pancasila adalah sistem yang kompleks, yang mengharuskan adanya keseimbangan antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara. Dalam demokrasi Pancasila, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses politik, namun partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil dan transparan.

"Sayangnya, dalam realitas politik Indonesia saat ini, keseimbangan ini seringkali terganggu oleh dominasi kartel politik. Kartel politik ini menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memanipulasi proses demokrasi, sehingga rakyat kehilangan hak mereka untuk memilih pemimpin yang benar-benar mereka inginkan," katanya.

"Tantangan terbesar dalam menjaga demokrasi Pancasila adalah bagaimana mengatasi dominasi kartel politik ini. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konkret yang dapat memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan adil dan transparan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat peran lembaga-lembaga negara yang independen, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan bebas dari intervensi pihak-pihak yang berkepentingan," tegasnya 

KPU dan Bawaslu harus diberdayakan dengan kewenangan yang cukup untuk menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu. Kemandirian lembaga-lembaga ini sangat krusial agar mereka dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan atau pengaruh dari kekuatan politik tertentu. 

Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga menjadi aspek penting dalam menjaga kualitas demokrasi. Masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang proses demokrasi, hak-hak mereka sebagai pemilih, dan cara-cara untuk mengidentifikasi calon pemimpin yang layak. Dengan demikian, rakyat tidak akan mudah terpengaruh oleh kampanye-kampanye yang menyesatkan atau citra palsu yang dibangun oleh kekuatan media.

"Pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki integritas, jujur, dan berkomitmen untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau pribadi. Integritas ini harus menjadi syarat utama bagi setiap calon pemimpin yang ingin maju dalam kontestasi politik," imbuhnya. 

 

"Tanpa integritas, pemimpin hanya akan menjadi boneka yang dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar, dan pada akhirnya, rakyat yang akan dirugikan. Menjelang Pilkada 2024, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga demokrasi tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi Pancasila seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin sejati, namun realitas yang terjadi justru menunjukkan dominasi kartel politik yang semakin mengakar dan mengancam kedaulatan rakyat," paparnya.

Pernyataan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, menurut pandanganya, harus dilihat bukan hanya sebagai sebuah pengingat, tetapi sebagai refleksi dari problematika dalam demokrasi Indonesia yang terus bergulat dengan dinamika politik kartel dan elitisasi kekuasaan. Dalam konteks demokrasi yang sehat, kepemimpinan sejati tidak dapat didasarkan pada dinasti politik atau sekadar simbolisme nama besar. 

"Harus ada pertanggungjawaban atas rekam jejak, kinerja nyata, dan keberhasilan dalam mendorong reformasi yang benar-benar berdampak bagi rakyat. Di tengah kontestasi politik yang semakin dikendalikan oleh kelompok-kelompok elite dan partai politik yang sering kali lebih mengutamakan kepentingan oligarki dibandingkan rakyat, kualitas demokrasi kita berada di ujung tanduk," katanya. 

Demokrasi Pancasila seharusnya memastikan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi secara rasional dan tanpa tekanan. Namun, realitasnya, rakyat sering kali terjebak dalam permainan politik yang dikendalikan oleh segelintir elite yang memiliki kekuatan finansial dan jaringan politik yang kuat.

Maka dari itu, demokrasi Indonesia tidak bisa lepas dari permasalahan mendasar ini. 

"Ketika kekuatan politik tertentu terus mendominasi, manipulasi terhadap aspirasi rakyat menjadi tidak terhindarkan. Demokrasi yang sejati mensyaratkan adanya mekanisme kontrol dan keseimbangan kekuasaan yang transparan, serta ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menentukan arah kebijakan negara. Upaya menjaga integritas demokrasi tidak hanya tugas pemerintah atau partai politik, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat sipil, media, dan lembaga independen lainnya," jelasnya. 

"Hanya dengan kolaborasi yang kuat antara semua komponen ini, demokrasi Indonesia bisa diangkat dari cengkraman politik kartel menuju sistem yang benar-benar berkeadilan, sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, integritas, transparansi, dan keadilan bukanlah sekadar jargon politik, melainkan elemen esensial yang harus diwujudkan dalam setiap proses politik. Hanya dengan demikian, kita bisa melahirkan pemimpin sejati yang tidak hanya mengandalkan nama besar atau popularitas semu, melainkan yang mampu memimpin bangsa ini ke arah masa depan yang lebih cerah, beradab, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," tutupnya.(des)


0 Komentar