Selasa, 06 Februari 2018 19:30 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Indonesia akan kehilangan 50 juta peluang kerja akibat penyimpangan (disruptive) ekonomi dari revolusi digital atau revolusi industri keempat (4.0) sehingga semua pihak harus siap menghadapinya termasuk pengelola badan pengelola jaminan sosial nasional.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang P.S. Brodjonegoro, ketika membuka seminar internasional Expanding Social Security Coverage in The Disruptive Economy Era di Nusadua, Bali, Selasa (06/02/2018), dengan mengutip Mckinsey, dia mengatakan fenomena tersebut sudah terjadi pada sejumlah sektor bisnis.
Belakangan ini memang sejumlah sektor sudah bersiap mengurangi pekerjanya, seperti pengelola toll yang mengurangi pekerja layanan pembayaran toll dengan layanan penggunaan kartu.
Di sektor perbankan juga bersiap untuk mengurangi pegawainya karena akan meningkatkan layanan secara online, begitu juga dengan layanan tiketing pesawat, kereta dan kapal yang akan menggunakan mesin anjungan mandiri.
Perusahaan konsultan riset McKinsey & Co di ujung tahun 2017 memprediksi sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan hingga 2030 mendatang karena tergantikan robot dan teknologi otomasi.
Bambang mengatakan di sisi lain masih terbuka peluang kerja lain akibat digitalisasi bisnis dimana akan menciptakan masyarakat bisnis yang mandiri dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital.
Presiden International Social Security Association Joachim Breuer mengatakan dunia sedang mengalami revolusi digital yang dikenal sebagai revolusi industri 4.0, dimana banyak aktivitas dilakukan secara digital, artificial intelligence, big data, penggunaan robotic, dan lainnya, lalu dikenal dengan fenomena disruptive (penyimpangan atau gangguan).
Breuer mengakui akan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja karenanya, tetapi di sisi lain akan banyak pula peluangan kerja yang tercipta. "Hanya saja hingga kini kita tidak tahu secara pasti berapa banyak yang kehilangaan pekerjaan dan berapa banyak tercipta peluang kerja baru," ujarnya.
Topik Bahasan
Kondisi ini merupakan salah satu topik bahasan dalam gelaran seminar internasional itu untuk mengantisipasi 10 tantangan Global yang direkomendasikan oleh ISSA dan BPJS Ketenagakerjaan menjadi tuan rumah seminar tersebut. Kondisi ini dikatakan disruptive atau gangguan karena akan mengubah tatanan perekonomian konvensional yang selama ini berjalan.
ISSA adalah organisasi internasional yang menaungi 330 organisasi jaminan sosial dari 158 negara di seluruh dunia.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto, mengatakan di sisi lain fenomena digital meemberi kesempatan yang sama kepada semua orang untuk bisa bekerja tanpa mengenal batasan ruang dan waktu.
"Semua bisa dilakukan dalam genggaman gawai, baik itu pekerja maupun pasar sasarannya. Semua menjadi semakin tidak terlihat, dan dari sisi jaminan sosial tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri," ucap Agus.
Dia menambahkan, "disruptive economy" ini juga membawa dampak ketenagakerjaan, hubungan industrial, keberlangsungan sistem jaminan sosial, bahkan juga berdampak pada cara masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi.
Dia berharap seminar internasional menghasilkan sejumlah rekomendasi yang membantu para pemangku kepentingan jaminan sosial di seluruh dunia dalam menentukan langkah ataupun kebijakan ke depan.
Seminar dihadiri 125 pemerhati jaminan sosial dari 30 negara bersama dengan 350 orang praktisi dan pemerhati jaminan sosial di Indonesia.
Selain itu juga dilakukan penandatanganan kerjasama strategis antara BPJS Ketenagakerjaan dengan DGUV (German Social Accident Insurance) atau Lembaga Penyelenggara Jaminan Kecelakaan Kerja Jerman terkait K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dan jaminan sosial.(ant)