Jumat, 08 September 2017 18:52 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Hatf Saiful Rasul berusia 11 tahun saat dia mengatakan kepada ayahnya, Syaiful Anam, seorang terpidana kasus terorisme, bahwa dia ingin pergi ke Suriah untuk memperjuangkan ISIS.
Bocah itu sebelum pergi ke Suriah merupakan santri di pondok pesantren Ibnu Mas’ud, di Sukajaya, Bogor, yang kini jadi sorotan media asing.
Hatf mengunjungi ayahnya di sebuah penjara dengan keamanan maksimum saat libur dari aktivitas di pesantren. Syaiful menuliskan kisah anak dan agamanya dalam esai 12.000 kata yang dipublikasikan secara online.
”Awalnya, saya tidak merespons dan menganggapnya hanya lelucon seorang anak,” tulis Syaiful. ”Tapi itu menjadi berbeda ketika Hatf menyatakan kesediaannya berulang kali.”
Hatf mengatakan kepada ayahnya bahwa beberapa teman dan guru dari pesantren Ibnu Mas'ud telah pergi untuk memperjuangkan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). “Dan menjadi martir di sana,” lanjut tulisan Syaiful.
Syaiful akhirnya setuju untuk membiarkan anaknya pergi ke Suriah. Dalam esainya, pesantren tersebut dikelola oleh ”kawan yang berbagi ideologi” dengannya. Hatf pergi ke Suriah bersama sekelompok kerabat pada tahun 2015, bergabung dengan sekelompok militan Prancis.
Reuters berbicara dengan tiga pejabat kontra-terorisme di Indonesia yang mengonfirmasi bahwa anak laki-laki tersebut memang pergi ke Suriah.
Dari dokumen pengadilan, data pendaftaran, dan wawancara dengan petugas polisi anti-terorisme dan para mantan militan, Reuters melaporkan bahwa Hatf adalah satu dari sekitar 12 orang dari pesantren Ibnu Mas'ud yang pergi ke Timur Tengah untuk memperjuangkan ISIS atau setidaknya berusaha untuk pergi ke sana antara tahun 2013 hingga 2016.
Pesantren Membantah
Sedikitnya 18 orang lainnya yang terkait dengan lembaga pendidikan tersebut telah dipidana atau telah ditangkap karena berencana dan terlibat serangan militan di Indonesia.
Menurut dokumen polisi dan sidang kontra-terorisme, data itu termasuk tiga serangan paling mematikan di Indonesia dalam 20 bulan terakhir.
Namun, Jumadi, juru bicara pondok pesantren Ibnu Mas'ud, seperti dilaporkan Reuters,membantah lembaga tersebut mendukung ISIS atau kelompok militan lainnya. Dia juga menyangkal bahwa pesantren mengajarkan interpretasi ekstrem.
Pondok pesantren Ibnu Masud yang telah berdiri selama satu dekade telah diawasi pihak berwenang Indonesia.
Irfan Idris, Kepala Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyalahkan lemahnya undang-undang dan birokrasi karena tidak ada tindakan terhadap lembaga pendidikan semacam itu.
”Pada dasarnya, ini bukan wilayah kami, ini adalah (domain) Kementerian Agama,” katanya kepada Reuters, yang dilansir Jumat (08/09/2017).
”Kami telah memberitahu kementerian bahwa Anda memiliki masalah dengan (pesantren) Ibnu Mas'ud.”
Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam di Kementerian Agama RI, memberikan alasan mengapa pesantren di kaki Gunung Salak ini tidak ditutup.”Ibnu Mas'ud tidak pernah terdaftar sebagai pesantren,” katanya.
Pemerintah daerah setempat, ujar Kamaruddin, telah meminta penjelasan mengenai status pesantren itu, tapi tidak pernah mendapat tanggapan.
Jumadi menambahkan, Hatf belajar di pesantren Ibnu Mas'ud, tapi dia tidak tahu tentang riwayat kepergiannya ke Suriah. Dia juga mengaku tidak mengetahui adanya staf atau pun santri yang bepergian ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS, selain tiga guru dan satu santri yang ditahan di Singapura pada tahun lalu.(exe/ist)