Rabu, 02 Agustus 2017 00:40 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Peran sosial keagamaan dan keumatan telah menjadi bagian integral dari masyarakat pondok pesantren dan NU sejak puluhan tahun lalu.
Kiai, santri, dan komunitas sosial di sekitarnya sangat merasakan sentuhan kiai dan eksistensi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan khas Indonesia.
Dalam konteks kekinian dan strategis, membangun ketahanan ekonomi pondok pesantren adalah hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan di tengah era kontestasi ekonomi yang makin mengeras dan cenderung menjauh dari nilai-nilai etika dan moral.
Ketua Kadin Jawa Timur, La Nyalla Mahmud Mattalitti, memiliki pemikiran dan pandangan bersifat out of the box dalam konteks ini. Berikut buah pemikirannya:
Sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, saya hampir setiap hari berkutat dan bersinggungan dengan para pelaku usaha, khususnya di Jatim. Isu yang kami bicarakan mulai dari mikro hingga makro ekonomi yang bersinggungan langsung dengan para anggota Kadin.
Ketika saya aktif melakukan safari silaturahim ke sejumlah daerah, bertemu banyak kalangan, terutama para pengasuh pondok pesantren, saya menemukan satu topik bahasan lagi, terkait ekonomi. Yakni ketahanan ekonomi pesantren.
Saya merasa perlu untuk menyampaikan hal ini. Karena sejatinya, ketahanan ekonomi pesantren adalah ekonomi dalam bingkai moral. Dan itulah seharusnya Ekonomi Pancasila. Ekonomi Indonesia. Sehingga, ketahanan ekonomi pesantren bagi saya sangat penting.
Setelah saya baca beberapa literatur, membangun ketahanan ekonomi pesantren sudah lama dirintis Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal berdiri pada tahun 1926, NU sudah berjuang mengembangkan etos Kemandirian Ekonomi, sebagai perwujudan dari salah satu organ embrio NU, yaitu Nahdlatut Tujjar.
Sebagai lanjutan dari spirit Nahdlatut Tujjar, gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada tahun 1937, pada era KH Mahfoedz Shidiq. Beliau memprakarsai pembentukan koperasi Syirkah Muawwanah, yang bertujuan memperkuat modal para petani di pedesaan.
Dan, di tahun 90-an, NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma. Sebagai upaya menjembatani kebutuhan permodalan usaha-usaha milik warga NU. Tapi karena krisis moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1997, Bank Nusumma tidak mampu bertahan.
Dari catatan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU, saat ini terdapat sekitar 24 ribu pondok pesantren di bawah NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemandirian ribuan pesantren tersebut menunjukkan bahwa pesantren sebenarnya mampu survive. Namun masih banyak yang belum memiliki ketahanan ekonomi yang kuat.
Karena itu mulai banyak pesantren yang mengembangkan koperasi-koperasi pesantren sebagai basis penguatan ekonomi. Bahkan ada yang sudah memiliki unit usaha produksi. Mulai dari pertanian, perikanan bahkan sampai industri kemasan. Semacam air mineral dan produk makanan. Tentu masih banyak pesantren lainnya yang belum ke arah sana, atau baru memulai dari skala yang kecil.
Namun bagi saya, small enterprises atau UMKM yang dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin menjadi besar. Apalagi pesantren sebagai penjaga moral pasti menjalankan visi bisnisnya dengan menganut prinsip-prinsip Islami.
Dan prinsip-prinsip itu juga telah dikenalkan oleh NU melalui konsep Mabadi Khoiroh Ummah. Di mana di dalamnya terkandung lima prinsip dan nilai dasar yang sangat tepat diterapkan dalam membangun ketahanan ekonomi pesantren.
Yaitu yang pertama prinsip Ash-Shid’qu (benar/jujur), yang kedua Al-Amanah Wal-Wafa bil ‘Ahd (amanat/tepat janji), yang ketiga, Al ‘Adalah (keadilan), yang keempat At-Ta’awun (tolong menolong) dan yang kelima Istiqomah (konsisten). Yang sejatinya ini adalah prinsip pebisnis yang ingin sukses di dunia dan di akhirat. Inilah sebenarnya ekonomi dalam bingkai moral itu.
Dalam implementasinya, prinsip-prinsip itu diwujudkan dengan kejujuran dalam bertransaksi. Menjauhi segala bentuk penipuan demi mengejar keuntungan. Pebisnis juga harus punya sifat dapat dipercaya, setia dan tepat janji, karena itu menjamin integritas pribadi. Dan dalam menjalankan bisnis hal itu adalah syarat mutlak untuk sukses.
Prinsip keadilan jelas menjadi landasan pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Proporsional dan tidak serakah. Selaras dengan dengan sikap tolong-menolong yang mengandung pengertian timbal balik dari masing-masing pihak untuk memberi dan menerima.
Saling tolong menolong antar-pondok pesantren untuk memperkuat ketahanan ekonomi masing-masing pesantren mutlak diperlukan. Seperti halnya dibentuknya asosiasi-asosiasi bisnis di dunia usaha. Mereka sejatinya antaranggota asosiasi saling tolong-menolong untuk memperkuat posisi kelompoknya.
Dan yang tak kalah penting adalah prinsip ke-5 dalam Mabadi Khoiroh Ummah, yakni istiqomah atau konsisten. Yang juga berarti tahan banting, sabar dan tetap semangat. Karena dalam pengembangan ekonomi umat atau pesantren ukurannya adalah konsistensi untuk sabar dan tetap semangat. Tanpa spirit istiqomah, kita akan mudah putus asa ketika menghadapi badai atau guncangan.
Jika ini ditekuni dan dibesarkan, pada akhirnya, gerakan NU di bidang ekonomi akan mampu membentuk masyarakat Islam yang mempunyai integritas moral dan ketahanan ekonomi yang kuat. Dengan perpaduan dua pilar tersebut, moral dan ekonomi, maka NU bisa menjadi penyeimbang sekaligus alternatif terhadap rapuhnya liberalisasi dan kapitalisasi ekonomi dunia.
Peran Pemerintah
Begitu besarnya manfaat keberadaan pesantren sebagai penyumbang utama pembangunan moral dan akhlak, maka saya pribadi memasukkan program Membangun Ketahanan Ekonomi Pesantren sebagai bagian dari program yang akan saya prioritaskan jika insya Allah saya ditakdirkan menjadi Gubernur Jawa Timur nanti.
Sebagai pengusaha saya terbiasa berpikir di luar kotak. Dan memang berpikir out of the box itu harus dalam bisnis. Karena dengan begitu kita bisa melompat lebih jauh. Begitu pula membangun kekuatan ekonomi pesantren.
Kalau kita berpikir di luar kotak, maka koperasi-koperasi pesantren sudah tidak lagi berorientasi ke dalam. Tidak lagi menjadikan santri dan lingkungan sekitar sebagai captive market. Tetapi menjadikan umat Islam di seluruh dunia menjadi sasaran market.
Halal Produk Made In Pesantren, adalah brand yang harus kita menangkan di dunia bisnis. Jumlah umat Islam di seluruh dunia ini hampir 2 miliar. Terbanyak tersebar di Timur Tengah dan Asia. Beberapa negara di Timur Tengah masih mengimpor produk makanan dan minuman dari negara lain. Karena mereka tidak punya sumber daya alamnya. Mereka hanya punya minyak dan kurma.
Saya kemarin baru bertemu dengan Duta Besar Turki. Mereka mengatakan puluhan juta penduduk Turki masih makan dan minum dari produk-produk impor. Sumber daya alam di sana belum mampu mencukupi untuk diproduksi sebagai makanan dan minuman rakyatnya.
Nah, mereka-mereka ini harus mengenal brand kita, produk-produk halal made in pesantren ini. Karena halal itu adalah added value. Harus kita kampanyekan dan kita kenalkan.
Harus ada lompatan besar. Semua bisa terjadi kalau kita mau dan pemerintah mendorong dengan memfasilitasi. Itulah salah satu tekad saya membangun ketahanan ekonomi umat, yang salah satunya melalui ketahanan ekonomi pesantren.
Kendala pasti ada, tetapi jalan keluar juga pasti ada kalau kita mau. Saya terbiasa berpikir sebagai pengusaha, selalu ihktiar mencari jalan keluar. Harus optimis dan solutif. Insya Allah kita bisa!(exe/ist)