Kamis, 13 Juli 2017 18:01 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Advokat Senior Todung Mulya Lubis menyebut Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Izha Mahendra hanya mengerti hukum tata negara tradisional dan tidak paham hukum tata negara modern soal kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menanggapi cibiran Todung, Yusril mengaku, dirinya sangat faham tentang auxiliary agencies yang disebutkan Todung, sebagai lembaga penunjang di tempatkan dalam posisi independen. Namun, keberadaan lembaga seperti itu, menurutnya, tidak terlepas di manakah ranah atau rumpun dari auxiliary agencies itu berada.
"KPK itu dalam hal melakukan tugasnya di bidang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi adalah sama dengan Kejaksaan, dan karenanya berada dalam ranah atau rumpun eksekutif," kata Yusril dalam keterangan pers, Kamis (13/7/2017).
Keduanya, lanjut Yusril, dapat ditarik keberadaannya kepada Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 sebagai badan-badan lain yang tugasnya terkait dengan kekuasaan kehakiman. Hanya bedanya secara struktural, Kejaksaan berada di bawah Presiden, sedangkan KPK tidak berada di bawah lembaga manapun.
"Lembaga-lembaga lain yang bahkan disebut dalam Pasal 23 UUD 1945 seperti Bank Indonesia, adalah lembaga yang independensinya ditegaskan oleh konstitusi," katanya.
Ia menjelaskan, Dewan Gubernur Bank Indonesia, sebagaimana komisioner KPK dipilih oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Namun dalam angket terhadap skandal Bank Century, angket DPR langsung atau tidak langsung ditujukan kepada Bank Indonesia.
"Kalau BI sebagai lembaga negara independen yang bukan sekedar auxiliary agency seperti dikatakan Todung, bisa diangket DPR, maka atas dasar apa Todung mengatakan KPK tidak bisa diangket?" ujarnya.
Dalam konteks DPR melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara independen, KPK selama ini menjadi mitra kerja Komisi III DPR. KPK selalu hadir diundang dalam Raker Komisi III untuk dilakukan pengawasan. Keberadaan Raker sebagai pengawasan hanya diatur dalam Peraturan Tatib DPR, tapi KPK patuh.
"Pertanyaannya, mengapa ketika DPR ingin melakukan angket, yang merupakan instrumen pengawasan yang diatur dalam UUD 45, Todung menolaknya?" ujar Yusril.
Menurut Yusril, Todung seperti kehilangan kejernihan berpikir karena keinginannya yang menggebu-gebu untuk menolak angket DPR terhadap KPK