Jumat, 27 April 2018 07:40 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati meminta agar semua pihak dapat memikirkan persoalan wacana pembentukan Pansus tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) di DPR dilihat secara jernih.
"Jika dimaksudkan untuk kepentingan politik, tentu kami menolak keras rencana pembentukan Pansus TKA tersebut. Namun, jika Pansus TKA dimaksudkan untuk mendudukkan persoalan TKA yang telah muncul sejak beberapa tahun lalu, kami 100% mendukung rencana tersebut," kata Okky saat dihubungi, Jumat (27/4/2018).
Menurut Okky, rencana Pansus TKA DPR harus ditempatkan secara proporsional dan menjadi momentum yang baik bagi pemerintah khususnya Kementerian Tenaga Kerja untuk mengklarifikasi, menjelaskan serta mendudukan persoalan TKA ini ke publik secara baik.
"Karena kami melihat, penjelasan dan klarifikasi Kemnaker selama ini tidak tuntas dan lebih menekankan sikap defensif. Akibatnya, pemerintahan Presiden Jokowi yang menjadi sasaran sinisme sebagian publik atas persoalan ini," ujar dia.
Terkait dengan Perpres 20/2018 yang belakangan menjadi polemik, sejak awal politikus PPP ini telah mengingatkan agar Kemnaker agar hati-hati atas rencana perubahan Perpres tersebut, mengingat persoalan ini mendapat perhatian dari masyarakat. Adapun soal substansi yang tertuang dalam Perpres tersebut, memang harus diakui ada sisi kemajuan.
Kemajuan tersebut di antaranya: (i) soal pengesahan Rencana Penggunaan TKA yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk maksimal dua (2) hari [Pasal 8 Perpres 20/2018]. Ini sesuai dengan niat awal pemerintah untuk mempermudah proses izin TKA ke Indonesia. (ii) kewajiban membayar dana kompensasi bagi Pemberi tenaga kerja TKA atas pengunaan setiap TKA [Pasal 15 ayat (1)] (iii) pemberi kerja bagi TKA wajib memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia bagi TKA [Pasal 26 ayat (1)].
"Norma ini kembali mewajibkan soal bahasa Indonesia, setelah sebelumnya Menaker Hanif Dhakiri melalui Permenaker 35/2015 yang menghapus soal kewajiban bahasa Indoensia ini. Perpres ini bisa disebut mengoreksi kebijakan Menaker Hanif Dhakiri, khususnya soal kewajiban kemampuan bahasa Indonesia," terangnya.
Kendati demikian, lanjut Okky, keberadaan Perpres ini juga tidak sedikit mendelegasikan kewenangan kepada Menaker untuk membuat aturan turunan yang lebih teknis dan detil.
"Saya kira, di Permenaker atau Kepmenaker menjadi kunci Perpres ini karena akan diketahui jabatan apa saja yang dilarang diisi oleh TKA. Seperti soal jabatan tertentu yang tidak boleh diisi TKA harus dijelaskan lebih lanjut melalui Kepmenaker. Pertanyaannya apakah Menaker masih menggunakan Kepmen lama era Muhaimin yakni Kepmen No 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang dilarang diduduki TKA? Sampai saat ini belum dijelaskan ke publik," kata Okky heran.
Selain itu, Okky menambahkan, Kepmenaker juga dibutuhkan terkait jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah apa saja sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) Perpres 20/2018. Penggunaan TKA di sektor pendidikan, lembaga sosial dan keagamaan disebutkan tidak dipungut dana kompensasi untuk jabatan tertentu, juga membutuhkan Kepmenaker sebagaimana amanat Pasal 6 ayat (3) Perpres 20/2018.
Secara umum, menurutnya, jika dicermati norma yang tertuang dalam Perpres 20/2018 ini, tidak tampak spirit yang sejak awal disuarakan pemerintah khususnya soal persoalan kebutuhan tenaga kerja di bidang digital speerti di dalam bidang e-commerce.
"Sejak awal, saya mengingatkan agar bila memang ada perubahan soal norma pengaturan TKA agar dibuat norma yang limitatif dengan menyebut bidang yang benar-benar mencerminkan kebutuhan ketenagakerjaan di Indonesia," tegas Okky.
Jangan Cuci Tangan
Sementara itu, aktivis pemuda Alwashliyah, Indra Hasibuan meminta Menaker menjelaskan Perpers tentang TKA sudah menjadi polemik di masyarakat.
Dia juga mempertanyakan, karena selama beberapa waktu terakhir, Kemenakertrans seakan tiarap alias absen dalam menghadapi isu sensitif tersebut.
“Menteri jangan cuci tangah dan hanya mengarahkan persoalan kepada Presiden. Sehingga terkesan menjebak dan menyandera Presiden,” kata Indra saat dihubungi, Jumat (27/4/2018).
Ia juga meminta Menakertrans mencari solusi yang proporsional untuk menjawab semua tuduhan miring terkait TKA di masyarakat, bukan malah melempar 'bola panas' ke Presiden, yang pada akhirnya publik menilai negatif terkait terbitnya Perpres tersebut.
Indra meyakini, Perpres tentang TKA itu merupakan hasil rangkuman dari masukan-masukan para menteri ataupun staf ahli di bidang ketenagakerjaan.
“Tapi, Menaker terlihat tidak mau bersinggungan dan menghindari dengan isu ini,” ungkap Indra penasaran.
Hak Angket Digulirkan
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, menggulirkan penandatanganan usulan panitia khusus hak angket Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Penandatangan usulan hak angket ini dilakukan setelah dia bertemu dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di gedung DPR, Kamis (26/4/2018).
Selain oleh Fadli, usulan hak angket itu ditandatangani legislator dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafi'i, yang juga anggota Komisi III.
"Ya.. baru dua orang yang menandatangani. Nanti kami akan cari anggota lain, kan cukup 25 anggota dan dua fraksi," kata Fadli.
Fadli mengungkapkan, banyak pihak yang mengusulkan agar legislator membuat pansus angket Perpres TKA. Dia mengaku langsung merespons karena memang sedang menggodok usul tersebut.
Dalam pertemuan antara Fadli, Syafi'I, dan perwakilan KSPI, banyak dibahas mengenai bahaya Perpres TKA jika didiamkan.
Alasannya, aturan itu membahayakan ekonomi dan politik, bahkan keamanan dalam Negeri. "Sebab, orang asing akan sangat mudah ke Indonesia," ujarnya.
Selain itu, menurut Fadli, tidak ada kepentingan mendesak apapun untuk menerbitkan Perpres TKA. Apalagi dengan adanya Perpres itu tidak akan menambah lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia.
"Justru (TKA) menyerobot lapangan kerja yang bisa dipakai buruh kita, sendiri" ucapnya.
Diakui Fadli, jika yang masuk pekerja asing yang mempunyai keahlian untuk membantu tidak masalah. Namun akan menjadi persoalan jika tenaga kerja asing yang masuk adalah buruh kasar.
Fadli mengaku khawatir, jika dibiarkan Perpres TKA bakal menambah pekerja asing ilegal di Indonesia.
"Jumlah tenaga kerja asing yang masuk dalam setahun itu hampir dua kali lipat dari data resmi. Belum lagi data yang tidak resmi," ungkap Waketum Gerindra itu.
Diketahui, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan Perpres TKA tersebut harus dibatalkan.
Sebab, menurut Yusril, peraturan itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Untuk membatalkannya, Yusril mengatakan dengan cara mengajukan uji materi tentang Perpres Tenaga Kerja Asing ini ke Mahkamah Agung.
“Karena merugikan tenaga kerja dalam negeri. Minggu ini kami dalami dan minggu depan kami ajukan ke Mahkamah Agung,” kata Yusril, Senin (23/4/2018).
Ia menyatakan, siap membantu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) untuk mengajukan uji materi terhadap peraturan presiden yang ditandatangani Jokowi pada 26 Maret 2018 lalu itu.
Menurut Yusril, peraturan itu harus dibatalkan secara keseluruhan. Musababnya, Perpres Tenaga Kerja Asing itu sangat merugikan tenaga kerja dalam negeri dan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini menyebut peraturan itu juga tidak sejalan dengan komitmen presiden saat kampanye yang akan menyediakan 10 juta lapangan kerja.
“Yang sepuluh juta itu yang mana, tenaga kerja kita, atau tenaga kerja asing. Yang mana," sindir Yusril.
Perpres yang diteken Jokowi itu, menurut Yusril, sangat memudahkan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia.
Sementara kepentingan tenaga kerja dalam negeri, kata dia, justru terabaikan dan terganggu dengan adanya peraturan itu.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, Perpres TKA bertujuan menyederhanakan proses pemberi kerja menggunakan TKA di Indonesia.
Perpres ini tidak berarti menurunkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh tiap TKA.
Ia membantah jika Perpres itu bisa membuat Tenaga kerja asing dengan bebas masuk di Indonesia.
"Itu dua hal yang berbeda. Ini memperpendek prosesnya tapi kalau tidak memenuhi syarat, ya tidak bisa," katanya.