Rabu, 26 April 2017 08:31 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Pemerintah Cina melarang para orang tua di wilayah Xinjiang menamai bayi-bayi mereka dengan nama khas Islam.
Jika nekat, bayi-bayi itu tidak akan bisa mengakses layanan sosial, kesehatan dan pendidikan dari pemerintah. Xinjiang merupakan wilayah yang dihuni sekitar 10 juta warga Muslim.
Menurut laporan Radio Free Asia (RFA)—media yang didanai oleh Amerika Serikat (AS)—anak-anak dengan nama khas Islam dilarang dimasukkan dalam sistem registrasi rumah tangga atau “Hukou”. Dampaknya, anak-anak itu tak bisa mengakses layanan penting dari pemerintah.
Nama yang terlarang itu antara lain, Islam, Quran, Mekkah, Jihad, Imam, Saddam, Haji, Madinah dan lainnya. Seorang pejabat Partai Komunis Cina mengatakan, larangan itu masuk dalam ”Aturan Penamaan untuk Etnis Minoritas”.
”Anda tidak diizinkan memberi nama dengan rasa religius yang kuat, seperti Jihad atau nama seperti itu,” kata seorang pejabat Partai Komunis Cina kepada RFA, yang berbicara dalam kondisi anonim, yang dilansir Selasa (25/4/2017).
”Yang paling penting di sini adalah konotasi nama, (tidak boleh) berkonotasi perang suci atau splitsm (kemerdekaan Xinjiang),” lanjut pejabat itu.
Pejabat itu menambahkan: ”Berpeganglah pada garis partai, dan Anda akan baik-baik saja. (Orang dengan nama terlarang) tidak akan bisa mendapatkan registrasi rumah tangga, jadi mereka akan keluar dari daftar kantor Hukou saat waktunya tiba.”
Namun, nama yang dianggap "mainstream" seperti Mehmet, masih bisa diterima.
Human Rights Watch (HRW) mengutuk larangan yang tidak masuk akal oleh pihak berwenang Cina ini yang diklaim dapat memerangi ekstremisme. ”Ini hanya yang terbaru dalam serangkaian peraturan baru yang membatasi kebebasan beragama dalam penamaan,” kata Direktur HRW China, Sophie Richardson.
”Pada tanggal 1 April, pihak berwenang Xinjiang memberlakukan peraturan baru yang melarang jenggot panjang atau cadar abnormal di tempat umum dan memberlakukan hukuman karena menolak menonton program TV atau radio di negara bagian itu,” ujar Richardson.
”Kebijakan ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap perlindungan domestik dan hukum internasional terhadap hak kebebasan beragama dan berekspresi,” imbuh dia.(exe/ist)