Senin, 02 Januari 2017 08:12 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Margarito Kamis mengatakan, niat pemerintah didukung oleh dewan pers untuk menutup atau memblokir situs atau media abal-abal adalah tindakan inkonstitusional. Pemerintah tegas Margarito jelas terlihat tidak memahami konstitusi dan juga panik dengan bermunculannya situs-situs alternatif yang memberiikan informasi luas untuk rakyat Indonesia. “Ini langkah panik dan gegabah kalau benar jadi dilaksanakan niat pemerintah untuk menutup situs-situs yang dianggap media abal-abal. Pemerintah jelas tidak memahami konstitusi bahwa setia warga negara berhak menyatakan pendapatnya. Pemerintah juga terlihat ingin asal memberangus media-media alternatif yang memberikan informasi bagi masyarakat luas,”ujar Margarito saat dihubungi, Senin (2/2/2016). Abal-abalnya sebuah situs atau media menurutnya bukan terletak pada sisi lelagitas formalnya saja, karena bisa saja dari sisi legalitas situs itu bukan termasuk perusahaan media. Abal-abalnya sebuah situs menurutnya harus dilihat pada substansinya apakah yang diberitakan atau diinforamsikan itu adalah berita atau inforamsi abal-abal. “Seharusnya semangat membenahinya bukan berdasarkan unsur legalitas formal saja.Kalau mau membenahi harus menyeluruh dan menyentuh substansi permasalahan yaitu masalah inforamsi atau berita yang disampaikan adalah benar adanya dan bukan informasi atau berita abal-abal. Jadi sah saja jika seseorang membuat situs selama isinya adalah kebenaran,” kata Margarito. Dewan Pers sebagai lembaga menjaga kehormatan pers boleh saja membuat standar sesuai UU situs-situs berita apa saja yang bisa dikategorikan media.Tapi hal ini menurutnya bukan berarti dewan pers bersama pemerintah bisa dan boleh menutup begitu saja situs-situs yang dikategorikan dewan pers bukan media. “Yang namanya kebebasan berbicara, berserikat dan berkumpul itu dijamin oleh UUD. Selama informasi yang disampaikan itu bukan hoax, bukan fitnah yah bebas saja orang untuk berbiara.Intinya yang penting apa yang disampaikan itu adalah kebenaran. Jadi tidak masalah.Kalau pemerintah menutup keran masyarakat atau siapapun untuk berbicara maka ini adalah inkonstitusional,” imbuhnya. Jadi boleh saja anggota masyarakat meski dia bukan wartawan dia memberikan informasi ataupun berita dan ini sekali lagi menurut Margarito dijamin UUD. ”Siapa bilang bahwa yang boleh menulis itu wartawan saja? Rakyat boleh ikut menulis sebagai bentuk partisipasi dalam good governance selama apa yang ditulisnya bisa dipertanggungjawabkan dan tidak melanggar UU yang ada,” paparnya. Lagipula lanjut Margarito jika informasi yang diberitakan oleh situs yang oleh pemerintah dicap abal-abal,bukan termasuk media, maka jika ada inforamsi yang salah dan menyesatkan hal itu menjadi tanggungjawab pribadi si penulis maupun si pemilik situs. ”Ini konsekuensinya, mereka tidak bisa dikategorikan pers dan penulisnya bukan termasuk wartawan dan tidak berada dibawah UU Pers.Jadi kalau ada fitnah dan sebagainya yah pidana,” jelas Margarito. Margarito juga meminta dewan pers dan pemerintah untuk bertindak adil. Jika sebuah informasi atau berita disampaikan tidak benar, maka sanksi juga harus diberikan kepada siapapun termasuk kepada media yang disebut “resmi”. Jangan lanjut Margarito ada kesan tebang pilih, sehingga media-media main stream tidak pernah dikenakan sanksi meskipun informasi atau berita yang disampaikan adalah bohong, fitnah dan sebagainya. ”Masyarakat itu sekarang sudah cerdas dalam menyaring informasi. Tidak semua berita yang disampaikan oleh media-media kelas atas sekalipun adalah berita benar sesuai fakta karena banyak juga berita dan inforamasi yang menyesatkan yang ditulis oleh media-media kelas atas, diplintir atau ditutupi oleh media-media yang kerap disebut media main stream ini,” jelasnya lagi. Jangan sampai jelasnya lagi ada kesan pemerintah dan dewan pers tebang pilih sehingga terskesan hanya media-media yang anti pemerintah saja yang ditutup atau diblokir oleh kominfo, sementara situs yang dikatakan resmi atau media main stream sekalipun dibiarkan saja tanpa ada tindakan meski memuat informasi dan berita bohong, hoax dan fitnah hanya karena situs resmi tersebut menjadi pendukung utama pemerintah. ”Masyarakat sekarang ini melihat dan memang sudah ditunjukkan oleh media-media yang dikatakan main stream sekalipun keberpihakannya pada pemerintah.Jangan sampai situs yang kerap mengkritik pemerintah ditutup hanya karena sikapnya. Sanksi penutupan terhadap situs atau media harus diberikan secara adil baik yang main stream atau yang dikatakan pemerintah abal-abal kalau informasi yang diberikan adalah abal-abal dan mengadu domba,” tegasnya. Lebih lanjut Margarito mengingatkan, media abal-abal tidak hanya dikelola oleh pihak-pihak yang anti pemerintah tapi juga oleh pihak-pihak yang pro pemerintah. ”Bisa saja media-media yang dikatakan abal-abal memang diciptakan untuk menyerang lawan politik, tapi cara ini kan digunakan oleh kedua belah pihak untuk saling serang. Selama mereka menyerang dengan informasi yang benar yah sah, tapi kalau tidak benar, maka mau dipihak mana tetap harus ditindak,”imbuhnya lagi. Margarito pun menyarankan kepada pemilik situs inforamsi dan berita yang tidak masuk dalam kategori media resmi dan justru dikategorikan media abal-abal untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan secara bersama-sama jika situs mereka ditutup sepihak tanpa ada keputusan pengadilan. Penutupan sepihak oleh pemerintah hanya karena tidak terdaftar di dewan pers adalah salah ”Memang ada yang salah kalau ada pihak yang membuat blog berita?Meski mereka oleh dewan pers tidak bisa dikategorikan wartawan, tapi kan profesi bloger boleh-boles saja dan sah. Makanya kalau mereka mau menutup ini, ajukan saja gugatan ke pengadilan. Selama kontentnya tidak mengadung unsur SARA, adu domba atau hal-hal lain yang diatur dalam UU, mereka tetap boleh beroperasi. Begitu juga sebaliknya, jika media resmi membuat berbagai hal yang melanggar UU, maka tetap harus dikenakan sanksi,” tandasnya.