5 jam yang lalu

Sedimentasi Laut Sebagai Sumber Daya, Peluang dan Tantangan untuk Keberlanjutan

Editor : Yusuf Ibrahim
Yamin Pakaya (kanan) (foto istimewa)

JAKARTA, TIGAPILARNEWS.COM- Sedimentasi laut, yang selama ini kerap dianggap sebagai gangguan bagi ekosistem dan aktivitas pelayaran, sejatinya menyimpan potensi luar biasa sebagai sumber daya berkelanjutan.


Ketua Himpunan Pengusaha Sedimentasi Laut Indonesia (HPSLI), Yamin Pakaya mengatakan, jika ditangani dengan pendekatan yang bijak dan berorientasi ekologis, pembersihan sedimentasi bukan hanya menyelesaikan masalah teknis dan navigasi, tetapi juga membuka peluang besar bagi pemanfaatan ekonomi, ekologi, dan iklim.

Lantas seperti apa tantangannya? Menurut Yamin, pertama, hasil guna utama dari pembersihan sedimentasi adalah pemulihan kondisi batimetri laut yang lebih alami. Ketika dasar laut kembali pada kontur alaminya, sirkulasi air menjadi lebih optimal, penetrasi cahaya matahari meningkat, dan kondisi substrat menjadi lebih mendukung bagi pertumbuhan berbagai jenis biota laut. Ekosistem bawah laut yang sehat berkontribusi besar terhadap produktivitas hayati perairan.

"Kedua, laut yang bersih dari sedimentasi berlebih menciptakan kondisi ideal bagi perkembangan mikroalga. Mikroalga memiliki kemampuan sebagai carbon sink yang luar biasa, karena mereka menyerap karbon dioksida melalui fotosintesis. Dalam konteks global yang tengah menghadapi krisis iklim, potensi mikroalga ini bisa masuk ke dalam skema carbon trading, menjadi carbon asset yang dapat diklaim secara legal oleh negara atau pelaku usaha sebagai bagian dari kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon dunia," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6/2025).

Ia menjelaskan, dari sisi ekonomi langsung, pasir hasil sedimentasi dapat dimanfaatkan sebagai bahan reklamasi. Dengan pengelolaan yang sesuai kaidah lingkungan dan tata ruang laut, reklamasi berbasis pasir laut dapat digunakan untuk memperluas kawasan pesisir secara bijaksana terutama untuk keperluan pelabuhan, perikanan, atau zona ekonomi biru.

"Selain itu, hasil pembersihan sedimentasi juga dapat dimanfaatkan dalam restorasi pesisir melalui budidaya rumput laut dan mangrove. Rumput laut dapat menjadi penstabil substrat dan sumber mata pencaharian masyarakat pesisir, sementara mangrove memainkan peran penting dalam perlindungan pesisir dan penyerapan karbon," tambahnya.

Yamin mengatakan, tentu saja, semua peluang ini datang dengan tantangan. Pengelolaan sedimentasi laut harus mempertimbangkan aspek hukum, tata ruang, keberlanjutan lingkungan, serta keterlibatan masyarakat lokal. Pendekatan integratif berbasis marine spatial planning, kajian AMDAL yang komprehensif, dan pemanfaatan teknologi seperti GIS dan satelit menjadi kunci suksesnya.

"Namun, jika semua dilaksanakan dengan baik, penuh integritas, dan mengedepankan keberkahan serta keadilan ekologis, maka sungguh "nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Allah SWT telah menyediakan karunia yang besar di dasar laut untuk kita kelola dengan amanah demi kemaslahatan bumi dan generasi mendatang," tegasnya.

Ia mengaku, tulisan ini lahir dari perenungan penulis ketika menyaksikan euforia sejumlah kalangan yang menentang kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan sedimentasi laut sebagaimana diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2023. Banyak di antara pendapat yang berkembang bersifat sepihak dan cenderung memandang negatif upaya pemanfaatan sedimentasi laut, seolah-olah kebijakan ini semata-mata ditujukan untuk mengambil pasir laut guna dijual demi keuntungan (cuan) pelaku usaha.

"Pandangan sempit seperti itu kurang menggambarkan realitas teknis dan ekonomi yang mendasari kebijakan tersebut. Belum banyak dibahas secara objektif mengenai kajian tekno-ekonomi yang menjelaskan bagaimana proses pembersihan sedimentasi laut dilakukan dengan teknologi terkini, dan darimana biaya besar untuk kegiatan ini dapat ditopang. Tanpa mekanisme ekonomi yang seimbang, pembersihan sedimentasi akan sulit terealisasi, sementara dampaknya terhadap batimetri dan ekosistem laut justru semakin memburuk," kilahnya.

Menurutnya, PP 26 Tahun 2023 justru hadir dengan pendekatan ketat dan berbasis kontrol teknologi. Pemerintah mewajibkan spesifikasi kapal isap modern yang dilengkapi dengan sistem pengerukan dan pemisahan sedimen secara tertutup (close circuit system) sehingga mencegah pencemaran dan menjaga kestabilan ekosistem laut.

Bahkan proses pengangkutan hasil sedimentasi pun diatur dengan cermat: pasir laut diarahkan untuk keperluan reklamasi yang legal dan berizin, sementara lumpur atau sedimen halus dimanfaatkan untuk kegiatan restorasi pesisir.
 

Tidak benar jika pelaku usaha digeneralisir sebagai pihak yang tamak. Pelaku usaha wajib membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sesuai ketentuan, memberikan kontribusi nyata melalui program CSR untuk pemberdayaan masyarakat pesisir, dan menunjukkan komitmen terhadap pemulihan lingkungan sebagai bagian dari praktik usaha yang bertanggung jawab.

Ia berharap, melalui artikel ini yang berjudul Sedimentasi Laut Sebagai Sumber Daya: Peluang dan Tantangan untuk Keberlanjutan, para pemangku kepentingan dapat melakukan evaluasi yang lebih objektif dan seimbang dalam menyikapi diskursus pro dan kontra terhadap PP 26/2023.

Sudah saatnya kita memandang sedimentasi laut sebagai potensi sumber daya, bukan sebagai ancaman, dan bersama-sama menjaga serta mendayagunakan kekayaan laut Indonesia baik di wilayah laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), maupun di landas kontinen, dengan tanggung jawab dan semangat keberlanjutan.(fik)


0 Komentar