Selasa, 25 Maret 2025 13:27 WIB

Banjir Besar di Jabodetabek Diprediksi Tak Lagi Lima Tahunan Tapi Bisa Tiga Tahunan

Editor : Yusuf Ibrahim
Banjir. (foto istimewa)

JAKARTA, TIGAPILARNEWS.COM- Banjir besar yang melanda wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) hingga Karawang pada 3 Maret 2025, disebut-sebut menjadi banjir lima tahunan.

Namun, Plt Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan banjir besar yang melanda Jabodetabek tak lagi menjadi peristiwa 5 tahunan, tapi bisa 3 tahunan.

"Saat banjir kemarin di Jabodetabek dikatakan itu banjir 5 tahunan, betul artinya 5 tahun itu terjadi banjir, namun hal itu tidak akan seperti itu lagi apabila kita tidak mampu mengelola lingkungan kita. Banjir 5 tahunan itu sudah tidak ada, yang tadinya banjir 5 tahunan bisa menjadi 3 tahunan," kata Dwikorita dalam webinar dengan tajuk Refleksi Banjir Jabodetabek: Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem dikutip, Selasa (25/3/2025).

Bahkan, kata Dwikorita, banjir yang biasanya terjadi 5 tahunan itu bisa menjadi banjir setiap tahunnya dan dianggap sebagai hal normal.

"Yang dikhawatirkan banjir yang seperti 5 tahunan dapat terjadi menjadi banjir tiap tahun sehingga muncul sebagai penormalan. Jadi jangan sampai setiap tahun ya normalnya kayak gitu, itu yang harus kita cegah bersama," katanya.

Sebelumnya, Dwikorita juga menjelaskan bahwa dalam 10 tahun terakhir, tercatat peningkatan suhu permukaan udara yang cukup melonjak. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab risiko kekeringan yang memicu potensi banjir.

"Sepuluh tahun terakhir ini peningkatan suhu permukaan udara itu adalah permukaan bumi ya adalah semakin melonjak sebagai suhu terpanas dan tahun 2023 adalah tahun El Nino dan tahun 2004 adalah peralihan menuju kondisi La Nina. Fase-fase tersebut mengakibatkan risiko-risiko kekeringan dan banjir di wilayah dunia tidak hanya Indonesia," katanya.

Dwikorita menunjukkan temuan BMKG bahwa hujan ekstrem semakin sering terjadi, curah hujan ekstrem ini adalah curah hujan yang melampaui 150 ml. Dia menjelaskan intensitas, frekuensi, dan durasi curah hujan berkaitan dengan suhu permukaan.

Peningkatan suhu udara dapat mempercepat siklus hidrologi. "Data menunjukkan semuanya korelatif dengan peningkatan gas, konsentrasi gas-gas rumah kaca. Jadi ada benang merah yang saling menunjukkan sebab akibat antara peningkatan emisi gas rumah kaca dengan peningkatan suhu udara dan dengan peningkatan kejadian ekstrem," papar Dwikorita. 

"Beberapa laporan ilmiah juga mengatakan meningkatnya suhu udara itu juga memacu siklus hidrologi menjadi semakin cepat dan dampaknya menjadi semakin ekstrem, baik ekstrem basah dan kering," katanya.

Oleh karena itu, Dwikorita mengingatkan agar banjir di Jabodetabek yang dikenal sebagai banjir lima tahunan harus dimitigasi dari sekarang untuk menjaga lingkungan. Sehingga, tidak terjadi lagi banjir besar lima tahunan atau bahkan bisa terjadi lebih cepat.(rom)


0 Komentar