Senin, 09 Desember 2024 07:27 WIB
JAKARTA, TIGAPILARNEWS.COM- Kasus penembakan seorang siswa SMK dan anggota Paskibra, Gamma Rizkynata Oktafandy (17) oleh Aipda Robig Zaenudin di Semarang, Jawa Tengah menjadi sorotan berbagai pihak.
Peristiwa tragis ini tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga korban, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang prosedur dan etika penegakan hukum di Indonesia.
Pakar hukum Prof Henry Indraguna turut mengkritisi tindakan oknum Kepolisian yang diduga tidak sesuai dengan protokol. Penembakan yang dilakukan oleh Aipda Robig terjadi pada Minggu (24/11/2024) dini hari.
Kejadian ini terjadi di tengah situasi yang tidak mengindikasikan adanya ancaman terhadap nyawa sang polisi. Menurut Henry, meskipun ada dugaan bahwa korban terlibat dalam kelompok tertentu yang disebut gangster, tindakan penembakan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.
Ia menambahkan, bahwa tindakan oknum polisi yang menembak ke arah pinggul, bukan kaki tidak sesuai dengan prosedur yang mengharuskan tembakan peringatan terlebih dahulu.
"Ini jelas kesalahan oknum, bukan polisi secara kelembagaan. Saya khawatir Kapolrestabes Semarang dibohongi anak buahnya. Saya melihat kalau pembelaan oleh Kapolrestabes Semarang itu karena mendapatkan informasi yang salah, dan dilakukan lebih dari satu orang," terang Wakil Ketua Dewan Pembina DPP KAI ini.
Henry juga mempertanyakan motif di balik penembakan tersebut. Dia menilai bahwa tidak ada dasar hukum yang jelas untuk tindakan tersebut, terutama jika mengacu pada standar operasi prosedur kepolisian.
“Jika korban melawan, maka seharusnya ada upaya untuk melumpuhkan, jangan langsung menembaknya,” jelasnya.
Dalam konteks ini, penting untuk menyoroti bagaimana kasus ini mencerminkan masalah dalam institusi Kepolisian. Menurut dia, peristiwa pahit ini seharusnya menjadi momen introspeksi bagi Kepolisian untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem serta prosedur yang ada.
Ia merekomendasikan agar dilakukan tes psikologi ulang bagi anggota kepolisian yang memegang senjata, serta perlunya distribusi senjata yang lebih ketat dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan temperamental anggota. Dia juga memberikan pandangannya dalam penekanan pentingnya transparansi dalam penegakan hukum.
“Jika terjadi kesalahan anggota maka pimpinan harus segera memberikan sanksi tegas. Law enforcement harus dijalankan secara tegak lurus dan transparansi pengusutan harus dilakukan secara fairness. Dengan begitu kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian tidak luntur. Jangan karena perbuatan oknum polisi lalu institusi yang akan terkena dampak buruknya," paparnya.
Selain itu, Kepolisian harus berupaya keras untuk membangun kembali citra dan kepercayaan publik. “Slogan Presisi yang diusung oleh Kapolri harus diterapkan dengan nyata, bukan hanya sekedar kata-kata. Percayalah peristiwa ini tidak mungkin karena atas perintah atasan. Akan tetapi karena oknum yang menyalahgunakan diskresi yang ada,” pungkasnya.(des)