Senin, 22 Mei 2023 20:17 WIB

Jokowi Dinilai Cawe-cawe Urusan Pilpres 2024

Editor : Yusuf Ibrahim
Satyo P. Direktur Ekskutif Oversight of The Indonesian Democratic Policy. (foto istimewa)

Jakarta, Tigapilarnews.com- Kontestasi menuju pemilihan presiden (Pilpres) 2024 semakin dekat.  Pemungutan suara akan tetap digelar pada 14 Februari 2024. Sementara itu, tahapan Pemilu 2024 dimulai pada 14 Juni 2022.

Sayangnya, Satyo P. Direktur Ekskutif Oversight of The Indonesian Democratic Policy justru mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kerap cawe-cawe atau mencampuri urusan kontestasi politik.

Menurutnya, tanda keterlibatan aktif Jokowi yang semakin ikutan cawe-cawe dalam menentukan capres-cawapres di Pilpres 2024 makin hari semakin terlihat. Dikatakannya, sinyalemen itu adalah ancaman nyata bagi demokrasi.

"Sepatutnya Presiden tidak melakukan itu karena dapat membahayakan kehidupan bangsa. Mestinya Jokowi hanya perlu memastikan bahwa setiap tahapan berjalan sesuai schedule dan bebas intervensi dari siapa pun demi terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil," katanya dalam keterangan resminya.

"Sebab jika seorang Presiden tidak fair dan netral dampaknya akan sangat merusak kompetisi pemilu, karena  seorang Presiden RI memiliki kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar sehingga berpotensi mempengaruhi hasil pemilu," tanbahnya.

Masih dikatakannya, terdapat serangkaian kejadian menjadi sebuah tanda bahwa Jokowi berupaya "mengatur dan menentukan" konfigurasi koalisi. Bahkan, dilanjutkannya, pasangan capres dan cawapres, serta bukan tidak mungkin berupaya pula menjadikan politik dinasti untuk garansi sebagai faktor "keamanan" setelah pensiun menjadi Presiden. 

"Misalkan akan menjadikan anaknya menjadi cawapres dari salah satu pasangan capres hasil endorsement oleh Jokowi, terlepas situasi tersebut timbul akibat adanya salah satu capres yang sudah "birahi" dan akhirnya menarik Jokowi agar "cawe-cawe " dalam pusaran power of game pencapresan 2024," paparnya.

"Semoga sinisme itu tidak terbukti. Sebab jika itu terjadi maka demokrasi prosedural yang mengatur sirkulasi kekuasaan akan mengalami set back dan longsor ketitik nadir setelah 25 tahun pascagerakan reformasi 98, yang pada akhirnya menyuburkan oligarki neo orba yang berkelindan dengan wajah militeristik," pungkasnya.(fik)


0 Komentar