Kamis, 19 Januari 2023 12:55 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Di tengah kondisi perekonomian global tahun ini yang diramal penuh ketidakpastian, pemerintah tetap optimistis namun waspada dan antisipatif.
Sejumlah strategi dan kebijakan disiapkan agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada tahun 2023 dapat tercapai.
“Kalau kita bicara global, memang global masih ada awan hitam, bahkan Managing Director IMF mengatakan Indonesia itu adalah the bright sight in the dark. Nah tentu Indonesia berharap, karena kita punya resiliensi selama penanganan pandemi Covid, ini juga berharap punya resiliensi untuk di tahun 2023 ini,” ujar Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, dikutip Kamis (19/1/2023).
Dari sisi manufaktur, PMI Manufaktur Indonesia masih berada di level ekspansif mencapai 50,9 di bulan Desember 2022 atau berhasil naik dibandingkan bulan November 2022 yang tercatat sebesar 50,3. Guna menjaga kinerja sektor manufaktur, Airlangga mengatakan bahwa pemerintah perlu optimis, tetap menjaga demand, serta melakukan tindak lanjut hilirisasi dan pengembangan ekosistem di sektor manufaktur.
"Sedangkan dari sektor riil, pemerintah akan meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor yang semakin berdaya saing. Saat ini terdapat tiga primadona ekspor Indonesia yakni nikel, kelapa sawit dan turunannya, serta batu bara," bebernya.
Selain itu, sebelumnya pemerintah juga telah menetapkan kebijakan larangan ekspor bauksit yang akan berlaku mulai Juni 2023. Mengingat sebagian besar kebutuhan alumina masih impor, pembangunan smelter di dalam negeri menjadi prospek yang menjanjikan.
Untuk mendorong percepatan pembangunan smelter, pemerintah akan mengidentifikasi dan merumuskan dukungan kebijakan terutama yang terkait dengan kebijakan insentif fiskal. “Karena memang harga bauksit itu relatif rendah ya di bawah USD60, tetapi kalau dia sudah menjadi aluminium bisa di atas USD2.300, jadi nilai tambahnya luar biasa. Dan kedua, pemerintah menyadari bahwa sebagian daripada eksportir itu melakukan investasi yang tidak sepenuhnya direalisasikan,” tuturnya.
Lebih lanjut Airlangga juga menyampaikan ihwal ketetapan lama periode menahan valas dan sanksi Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diatur dalam PBI Nomor 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor dan PP Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
“Kalo devisanya parkir di negara sendiri, kayak Thailand itu mewajibkan 3 bulan, nah itu akan memperkuat cadangan devisa kita dan akan memperkuat kurs rupiah. Inilah yang diperlukan di tahun 2023,” ungkapnya.
“Dengan ekspor yang baik, kita minta dolarnya itu pulang, dan dolarnya pulang tentu di sini dengan tingkat suku bunga tertentu dari sistem perbankan yang ditopang oleh BI. Memang ada permintaan BI, PP 1-nya terkait dengan devisa ini direvisi. Nah kami sedang mempersiapkan itu,” tutup Airlangga.(rah)