JAKARTA, Tigapilarnews.com-Kinerja Industri Musik Indonesia kembali diuji. Indra Lesmana dan sejumlah musisi atas nama AMPLI, menyampaikan sikap kritis terhadap pemerintah.
Kritik ini seakan menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah yang telah membuat regulasi yang mumpuni, bagi kehidupan Industri Musik Indonesia. AMPLI (Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia), yang terdiri dari; Indra Lesmana, Endah Widiastuti, Eky Puradiredja, Cholil Mohamad, Once Mekel, Tompi, Eross Chandra dan Yovie Widianto, dalam Konprensi Pers yang berlangsung secara daring tersebut, menyampaikan petisi, yang isinya mengajak musisi di seluruh Indonesia, untuk menolak ketentuan-ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021.
“AMPLI menolak ketentuan-ketentuan yang memberikan pihak swasta kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Karenanya, AMPLI meminta PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 dibatalkan,” tegas Indra Lesmana, representatif AMPLI.
Indra Lesmana juga mengatakan, AMPLI menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta, untuk mengambil alih peran negara, terkait royalti yang mestinya dijalankan melalui LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).
Bahkan AMPLI juga mendorong pemerintah untuk membangun sendiri Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) Bersama Dirjen Kekayaan Intlektual Kemenkumham selaku regulator pengelolaan hak cipta. Apakah Indra Lesmana dan AMPLI, mewakili musisi dan pencipta lagu dari 34 provinsi di Indonesia?
“Mohon maaf, suara AMPLI tidak mewakili suara semua musisi dan pencipta lagi di Indonesia. Menurut saya, PP 56/2021, sudah sesuai dengan kebutuhan untuk kondisi Industri Musik di Indonesia saat ini. Bahwa ada bagian yang belum sempurna, iya harus diAKUI,” jelas Adi Adrian, kibordis dari band legendaris, Kla Project.
Tapi menurut Adi, ketidaksempurnaan PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021, tidak lantas membuat keinginan sejumlah musisi dan pencipta lagu, ingin membatalkan, apalagi menghapuskannya.
“Mengubah PP 56/2021 misalnya, akan berdampak pada banyak hal. Ujung-ujungnya akan menghambat pengelolaan royalti yang akhirnya akan merugikan para pencipta dan musisi itu sendiri,” terang Adi Adrian, yang juga anggota PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia).
Pemain kibord band progresif Makara ini, juga menyoroti soal kritik Indra Lesmana dan kawan-kawan atas keterlibatan swasta dalam membangun infrastruktur sistem pengelolaan royalti. Baginya, keterlibatan swasta dalam bentuk kerjasama BOT sangat relevan. Sama halnya keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur dibidang lain.
“Dinegara lain dalam membangun dan mengelola sistem royalti, juga dilakukan oleh organisasi atau badan usaha swasta. Tidak ada negara lain di dunia yang pembangunan sistem dan pengelolaan royalti dilakukan oleh negara,” simpul Adi Kla, sembari menjelaskan kembali bahwa PP 56/2021 dan Permenkumhan 20/2022, dibuat untuk seluruh musisi dan pencipta lagu diseluruh pelosok negeri, bukan hanya untuk musisi dan pencipta lagu di Jakarta dan kota besar lainnya.
Menanggapi berbagai pandangan sejumlah musisi dalam perdebatan berkaitan dengan PP 56/2021, Badai, kibordis Badai Romantic Project, mengaku bingung dengan tujuan yang ingin dicapai oleh AMPLI melalui pembatalan PP 56 tersebut.
“Sampai saat ini, gue belum ikut menandatangani petisi tersebut. Gue bingung dengan perbedaan tujuan antara musisi di AMPLI yang menolak PP 56 dengan musisi yang menolak gugatan Musica. Terlalu banyak yang mau dicapai jadi kita terlihat gak unity (bersatu). Semua mau diubah,” tandas Badai, pencipta lagu ‘Melamarmu’ yang sangat hit ini.
Badai yang nampak hati-hati dalam memberikan komentar ini, menyampaikan pandangannya yang lain, melalui sebuah grafis di akun instagramnya @badaithepianoman; “Ketika bicara harmoni musik, semua disatukan dalam nada. Namun ketika bicara musik membawa kesejahteraan, belum tentu. Itulah mengapa musik Indonesia masih jauh dari kata sejahtera”.
Apa yang dirasakan Badai, mantan kibordis Kerispatih ini, tentu saja dialami oleh musisi dan pencipta lagu yang ada di 34 provinsi di Indonesia. Betapa mereka sebagai bagian dari pilar-pilar industri musik, melihat perdebatan yang mengarah pada perubahan ekosistem industri musik yang mulai membaik, dimana regulasinya telah disiapkan oleh pemerintah dalam bentuk PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021.
“Gue khawatir, kita jadi ekosistem yang cuma bisa sibuk berdebat, tapi tidak dalam perdebatan yang tepat,” simpul pemilik nama lengkap Doadibadai Hollo.(jar)