Jumat, 25 September 2020 11:19 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Demokrasi Amerika Serikat (AS) semakin remang-remang setelah Presiden Donald Trump menyatakan tidak akan berkomitmen terhadap transisi kekuasaan dengan damai dan mulus, jika dia kalah pada pemilu presiden.
Itu memicu kekhawatiran kalau Trump tidak akan mengakui kekalahan jika dia memang terbukti kalah pada November mendatang. Sebelumnya, Trump pernah mengatakan kalau dia juga tidak akan menerima hasil pemilu. Sentimen itu merupakan gayanya seperti pada pemilu 2016 lalu. Komitmennya tentang penolakan transisi damai memang akarnya karena perhatiannya terhadap faktor kecurangan dan perbedaan pendapat tentang pemungutan suara melalui surat.
Memang sangat sulit dipahami oleh rakyat AS dan publik internasional mengenai sikap Trump tersebut. Karena tindakan itu memang masalah. Itu hanya upaya membangun kepercayaan diri pada diri Trump dan pendukungnya kalau mereka bisa menang. Tapi, kekalahan juga bisa saja terjadi. Selain itu, pemungutan suara melalui surat, kecurangan pemilu, kerumunan dalam jumlah besar, dan keuntungan masker, menjadi isu yang selalu dimainkan Trump.
Untuk bisa memahami Trump, maka dia harus ditempatkan pada posisi sebagai pemimpin populis dan bukan pemimpin demokratis. Pemahaman konteks tersebut menjadikan Trump sama seperti pemimpin populis yang cenderung menggunakan kekuasaannya untuk memperpanjang masa jabatannya. Dia juga bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk melempar ancaman dan menguatkan dukungan loyalisnya.
Mahkamah Agung memang menjadi jalan terakhir yang bisa saja dipilih Trump ketika menghadapi kekalahan. Seperti pada pemilu 2000, di mana Mahkamah Agung meminta penghentian penghitungan di Florida dan memberikan kemenangan kepada George W Bush.
"Ketika hasil pemilu sangat tipis atau Trump menghadapi kekalahan, Trump bisa saja mudah memainkan narasi 'pemilu telah dicuri'," kata Lincoln Mitchell, pakar politik AS dilansir CNN.
Dengan narasi tersebut, dia berusaha memobilisasi massa dan para petinggi Partai Republik di level nasional serta negara bagian. Dia juga membangun dukungan dengan media Republik, seperti Fox News.
"Semuanya juga tidak mudah karena pemilu kali ini terjadi pada masa pandemi corona," kata Mitchell. Dia mengungkapkan, perlunya menemukan cara damai memperkuat demokrasi AS. "Semua pihak dan pemimpin harus menyiapkan diri menghadapi mobilisasi massa setelah pemilu," ujarnya.
Bisa saja penentu masa depan AS berada di tangan militer AS. Namun, selama ini militer AS juga tetap menjaga jarak dan tidak tertarik masuk ke politik domestik.
Pekan lalu, Washington Post melaporkan, anggota Kongres dari Partai Demokrat dari Michigan dan Mikie Sherrill dari New Jersey menulis surat kepada Jenderal Mark Milley, kepala staf gabungan dan menteri pertahanan Mark Esper. Surat itu berisi penegasan kewajiban militer untuk mengikuti perintah komandan militer tertinggi, yakni presiden terpilih.
Lawrence Douglas, seorang ilmuwan hukum dan profesor di Amherst College, tidak mengakui hasil pemilu merupakan bentuk dari keyakinan kalau Trump memang terlalu jauh dari kekalahan. “Pemimpin otoriter yang memiliki kekuatan tidak akan membiarkan mereka terjadi pada kondisi di mana dia akan menalami kekalahan,” katanya dilansir The New Yorker.
Faktanya Pemerintahan AS saat ini justru telah dibajak Trump sendiri untuk melindungi dari berbagai serangan. “Sistem konstitusi kita tidak mengamankan transfer kekuasaan yang damai, tetapi hanya mendorong saja,” kata Douglas. Itu karena sistem elektoral sangat berbeda dengan sistem populer sehingga sistem khas politik AS itu rawan disalahgunakan.
Namun demikian, sistem pemilu AS sejak 1800 kerap selalu diakhiri dengan kompromi karena sesuai dengan semangat konstitusi, akal sehat, dan keyakinan yang baik. Hanya saja, hal itu tidak diakui semuanya oleh Trump. Dikhawatirkan Trump justru akan memperbesar krisis dan tetap mengklaim dirinya sebagai presiden meskipun kalah.
Trump menegaskan dirinya berkomitmen menolak transisi kekuasaan dengan damai jika kalah pada pemilu 3 November mendatang. Dia mengaku pertarungan pemilu akan dibawa ke Mahkamah Agung. “Kita akan melihat apa yang akan terjadi,” kata Trump dilansir Reuters. Dia berulang kali meragukan legitimasi pemilu. “Tempat pemungutan suara adalah sebuah bencana,” katanya.
Alasan Trump untuk segera menunjuk pengganti hakim liberal Ruth Bader Ginsburg yang meninggal beberapa hari lalu, juga terkait dengan pemilu. “Sangat penting kalau kita memiliki sembilan hakim,” katanya. Konfirmasi Senat sebelum pemilu akan mencuri kesempatan kelompok konservatif 6 berbanding 3 di Mahkamah Agung.
Partai Demokrat memang mendorong para pemilih untuk menggunakan surat dalam memberikan pilihan selama pandemi korona. Jutaan rakyat AS, sebagian besar militer, memang biasanya memberikan suara melalui surat karena berbagai kendala.
Joe Biden, rival utama Trump, mengatakan komentar Trump tentang transisi kekuasaan merupakan hal yang tidak masuk akal. “Komentar Trump irasional,” katanya. Dia juga menyatakan, kampanye Trump dinilai dipenuhi dengan sikap dan pernyataan ketidakjujuran.
Bulan lalu, Hillary Clinton menyarankan Biden untuk mengalah dengan segala kondisi dalam pertarungan yang sengit. Dia mengungkapkan, Partai Republik akan memobilisasi pengacara untuk melawan hasil pemilu.
Jajak pendapat yang dilaksanakan Opinium menunjukkan tiga dari empat pemilih Demokrat juga khawatir Trump akan menolak hasil pemilu jika dia kalah. Itu akan memicu krisis konstitusional. Sedangkan tiga dari lima pemilih Trump khawatir kalau pemilu akan dicurangi.(ist)