Senin, 10 Agustus 2020 13:02 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menggelar konferensi donor bersama Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan pemimpin politik lain untuk menggalang dana bantuan kemanusiaan bagi Lebanon.
Aksi itu setelah terjadi ledakan massif yang terjadi di Beirut yang menewaskan 158 orang dan melukasi 6.000 warga. Upaya membangun kembali Beirut akibat ledakan tersebut diperkirakan menjadi miliaran dolar.
Para ekonomi memprediksi dampak ledakan bisa mengganggu 25% dari Produk Domestik Bruto Lebanon. Kebanyakan warga Lebanon pun marah dengan respons pemerintah dan menyebabkan ledakan itu akibat elite politik yang korup.
Macron merupakan pemimpin dunia pertama yang berkunjung ke Lebanon setelah ledakan. Dia berjanji akan memberikan bantuan kemanusiaan, tetapi dia meminta reformasi politik untuk menyelesaikan permasalahan negara tersebut. “Saya menjamin, bantuan rekonstruksi tidak akan jatuh ke tangan koruptor,” kata Macron.
Memang banyak simpati kepada Lebanon dari seluruh dunia. Banyak negara sudah mengirimkan bantuan kemanusiaan seperti suplai obat-obatan. Tapi, belum ada komitmen bantuan kepada Lebanon sejauh ini.
Trump yang berpartisipasi dalam konferensi yang digelar secara daring juga berjanji akan memberikan bantuan. “Semua orang ingin membantu,” ucapnya.
Jerman memberikan komitmen bantuan senilai USD11,79 juta bantuan darurat yang sedang dalam proses pengiriman. AS mengirim makanan dan obat-obatan senilai 15 juta dollar AS (Rp219 miliar). Inggris telah mengeluarkan bantuan darurat senilai 5 juta poundsterling (Rp95 miliar) dan mengerahkan kapal Angkatan Laut Kerajaan ke Lebanon.
Macron sendiri menolak untuk memberikan target dana bantuan yang akan diberikan. Bantuan yang menjadi prioritas adalah rekonstruksi, bantuan makanan, peralatan medis, rumah sakit dan sekolah. Berbagai perwakilan dari Inggris, Uni Eropa, China, Rusia dan Jordania juga diperkirakan bergabung dalam konferensi pers. Iran dan Israel memilih tidak bergabung dalam acara penggalangan dana tersebut.
Sementara itu, para demonstran menyerbu gedung pemerintahan di Beirut pada Sabtu hingga kemarin. Mereka juga melempari sampah Association of Lebanese Banks. Mereka menunjukkan kekecewaan terhadap pemerintah akibat ledakan yang mematikan. Para demonstran meminta para politikus untuk mengundurkan diri dan meminta orang yang bertanggungjawab atas ledakan tersebut untuk ditangkap.
Akibat demonstrasi itu, seorang polisi dilaporkan meninggal dunia dalam bentrokan dengan para demonstran. Palang Merah menyatakan sebanyak 117 demonstran terluka dan 55 warga dibawa ke rumah sakit. Banyak polisi dilaporkan terluka akibat lemparan batu.
Puluhan demonstran juga masuk ke gedung kementerian luar negeri dan membakar gambar Presiden Michel Aoun. “Kita akan bertahan di sini. Kita meminta semua rakyat Lebanon menduduki semua kementerian,” kata seorang demonstran, dilansir Reuters.
Sekitar 10.000 orang berkumpul di Alun-Alun Martir, sebagian demonstran bertindak anarkis. Polisi menembakkan gas air mata ketika massa mencoba mendobrak barikade untuk menghalangi pengunjuk rasa menuju gedung parlemen. Para demonstran berteriak, “rakyat ingin menjatuhkan rezim berkuasa”. Kalimat itu memang populer ketika Arab Spring merebak pada 2011.
Sebuah pawai akan menghubungkan salah satu daerah paling hancur di dekat pelabuhan ke Alun-Alun Martir, jantung pemberontakan anti-pemerintah yang dimulai tahun lalu. Beberapa pengunjuk rasa mendirikan tiang gantungan di kawasan tersebut untuk menegaskan sikap mereka tentang para pemimpin politik negara
Tetapi ada tingkat ketidakpercayaan yang sangat besar di Lebanon, di mana gerakan protes anti-pemerintah meletus Oktober lalu, yang dipicu oleh krisis ekonomi dan mata uang yang runtuh. Dua menteri yang berusaha mengunjungi kawasan yang rusak parah dalam beberapa hari terakhir pun diusir.
"Setelah tiga hari membersihkan, menyingkirkan puing-puing dan menjilati luka kami ... sekarang saatnya untuk membiarkan kemarahan kami meledak dan menghukum mereka," kata Fares Halabi, seorang aktivis berusia 28 tahun.
Kedutaan Besar AS di Beirut menyatakan Washington mendukung hak demonstran menggelar aksi dengan damai. Mereka meminta semua pihak mencegah diri dari aksi kekerasan. (brw)