Sabtu, 07 Desember 2019 01:33 WIB

RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tak Diperlukan

Editor : Rajaman
Ahli Hukum Pidana Suparji Achmad (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) masuk dalam RUU kumulatif terbuka dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) 2020. RUU ini dipertanyakan berbagai kalangan karena menimbulkan kontroversi di masyarakat. 

Ahli hukum pidana Suparji Achmad salah satu yang mempertanyakan RUU KKR. Sebab, kata Suparji, saat ini tidak ada sesuatu yang harus direkonsiliasi.

Bahkan ia menyebut RUU ini tidak diperlukan karena komisi atau lembaga yang sudah ada kinerjanya tidak produktif dalam mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi. 

"Komisi yang lain saja tidak produktif, Komnas HAM fungsinya apa? Ombudsman apa; Kompolnas apa?. Kita ini ada kesenjangan yang nyata. Pada satu sisi debirokratisasi, tapi wakil menteri ditambah. Pada satu sisi melakukan perampingan kelembagaan, tetapi lembaga baru dibikin. Ini kan semuanya akhirnya standarnya subyektif saja. Jadi tidak perlu RUU ini," ujar Suparji Achmad di Jakarta, Jumat (6/12/2019). 

Sekedar informasi, pemerintah sudah selesai menyusun naskah akademik dan draf RUU KKR. RUU ini akan menghidupkan kembali KKR yang sebelumnya pernah dibentuk tahun 2004 lalu untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Namun, KKR bubar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.

MK membatalkan UU KKR karena ada salah satu pasal yang menyebut jika telah meminta maaf, pelaku berhak mendapatkan pengampunan atau amnesti.

Menurut Suparji, yang harus dipertegas dari RUU ini adalah apa makna dari rekonsiliasi. Apabila bangsa ini ada perselihan, maka format dan bentuk perselisihannya itu seperti apa.

"Kalau cuma perbedaan pandangan, pendapat, itu kan sebuah dinamika. Solusinya bukan sekedar rekonsiliasi. Jadi harus diperjelas makna rekonsiliasi dan subyek dari rekonsiliasi," katanya. 

Lebih lanjut Suparji mempertanyakan apakah rekonsialiasi ramah dengan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM masa lalu dengan cara mengampuni? Misalnya ada keluhan tentang HAM seperti kasus Trisakti; Semanggi 1 dan 2; Talangsari dan sebagainya. 

"Apakah itu dimaafkan, dilupakan dalam bentuk rekonsiliasi? Lalu apakah ada stigma adanya Partai Komunis Indonesia (PKI). Jadi harus jelas makna dari rekonsiliasi," tegasnya.

Pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc

Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan HAM ad hoc. 

Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Merujuk pada catatan Kejaksaan Agung, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM.

Kedelapan kasus tersebut yakni peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Suparji mengungkapkan bahwa selama ini pembentukan pengadilan HAM ad hoc terhambat masalah prosedural.

Salah satu contoh kata Suparji bahwa Kejagung tidak menjalankan rekomendasi dari Komnas HAM. Selanjutnya Kejagung melempar ke DPR karena pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus ada rekomendasi dari DPR. 

"Dari DPR nya bersifat politis. Jadi harus dilihat substansinya seperti apa dan tujuannya apa RUU ini," tandas Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini. (Rob)


0 Komentar