Sabtu, 31 Agustus 2019 08:57 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah memasuki tahap akhir. DPR dan pemerintah pun menargetkan RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada 24 September mendatang. Kini muncul perdebatan mengenai kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RKUHP. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus delik ini pada 2006 lalu.
Dalam draft RKUHP pasal tersebut dimasukan kembali. Namun hal ini dikritik oleh berbagai kalangan karena sudah ada putusan MK. Namun sikap tidak konsisten partai penguasa saat ini PDI Perjuangan yang mendukung pasal itu masuk di RKUHP bertentangan pada saat partai pimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai partai oposisi.
Ketika itu pemerintahan sedang dikuasai oleh Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dari Partai Demokrat. PDI Perjuangan berpendapat bahwa jika pasal ini kembali dimasukkan dalam RUU KUHAP, akan memunculkan politisi ‘penjilat’ dan menghidupkan kembali pola Asal Bapak Senang (ABS) seperti era Orde Baru dan era kolonial Belanda.
2018, Saat berkuasa, saat Presidennya Jokowi, PDI Perjuangan mendukung pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali dalam RKUHP. Pasal itu dianggap penting untuk menjaga marwah presiden sebagai simbol negara agar tak mudah dilecehkan oleh masyarakat.
Proses demokrasi di Indonesia saat ini sudah masuk kategori ‘kebablasan’. Pasalnya, presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan seringkali dilecehkan oleh masyarakat yang tak bertanggung jawab. Sudah sepatutnya negara membutuhkan peraturan hukum untuk melindungi nama baik presiden.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad mengatakan semua pihak termasuk PDI Perjuangan harus putuh pada putusan MK. Sebab sebelumnya MK meminta pasal penghinaan terhadap Presiden tidak diakomodasi dalam RKUHP.
"Harus sesuai putusan MK, tidak bertentangan demokrasi, tidak multitafsir, tidak sewenang-wenang, dan untuk negara," kata Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (31/8/2910).
MK telah membatalkan sejumlah pasal terkait penghinaan Presiden dalam UU KUHP saat ini, yakni pasal 134, pasal 136, dan pasal 137. Meski demikian, pasal tersebut tetap akan sah sebagai sebuah produk legislasi jika DPR dan pemerintah tetap berkukuh memasukkannya dalam RKHUP. Bakal ada masalah konstitusionalitas dalam pasal tersebut.
Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP. MK menilai, tiga pasal itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan manipulasi. Masalah konstitusionalitas itu akan membuka peluang MK untuk kembali membatalkan pasal penghinaan Presiden jika ada pihak yang mengajukan gugatan uji materi ke MK.
"Justifikasi norma itu untuk kepentingan umum agak abu-abu karena fakta historinya begitu," ujarnya.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika pembuat undang-undang bisa mengikuti putusan MK dengan tidak menghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.