Kamis, 11 Juli 2019 12:34 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Nicholay Aprilindo menjelaskan permohonan pelanggaran administratif pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang telah diajukan pihaknya ke Mahkamah Agung (MA).
Nicholay mengatakan, permohonan pelanggaran administratif pemilu (PAP) pada Pilpres 2019 yang pertama kepada MA bernomor 1 P/PAP/2019 yang diajukan tanggal 31 Mei 2019.
Dia melanjutkan, MA pun menyatakan permohonan tidak diterima NO (Niet Ontvankelijk Verklaard) dikarenakan adanya cacat formil, yaitu kedudukan hukum ataulegal standing dari pemohon terdahulu Djoko Santoso dan Ahmad Hanafi Rais.
Dia menerangkan, putusan MA pada permohonan Nomor 1 P/PAP/2019 bukan ditolak seperti yang selama ini beredar dalam pemberitaan.
Namun permohonan tersebut, kata dia, NO atau tidak diterima, dikarenakan adanya cacat formil dan atau kekurangan syarat formil secara yuridis yaitu masalah legal standing pemohon.
"Setelah legal standing pemohon dilengkapi dan atau diubah dengan surat kuasa dari prinsipal secara langsung dalam hal ini capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandi, maka Permohonan dapat diajukan kembali," ujarnya, Kamis (11/7/2019).
Dia melanjutkan, permohonan PAP kedua yang telah diterima dan teregister pada Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 3 Juli 2019.
Permohonan itu berdasarkan surat kuasa langsung dari prinsipal yang ditandatangani oleh Prabowo-Sandi dengan memberikan kuasa khusus kepada Nicholay Aprilindo dan Hidayat Bostam dalam kapasitasnya sebagai advokat dan konsultan hukum, seperti tertuang didalam Surat Kuasa Nomor 01/P-S/V/2019 tertanggal 27 Juni 2019 yang ditanda tangani secara langsung Prabowo-Sandi diatas materai Rp.6000 dan disaksikan HashimDjojohadikusumo selaku Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
"Hal tersebut di atas untuk meluruskan pemberitaan yang keliru yang menyatakan bahwa Permohonan PAP yang kedua pada Mahkamah Agung RI tanpa sepengetahuan Prabowo-Sandi," imbuhnya.
Dia melanjutkan, permohonan PAP yang dimaksud adalah bukan kasasi, namun merupakan permohonan kepada MA untuk memeriksa Pelanggaran Administratif Pemilu secara TSM Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden atas Putusan Pendahuluan Bawaslu Nomor 01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019, tanggal 15 Mei 2019.
"Selanjutnya perlu kami sampaikan bahwa dasar hukum pengajuan PAP tersebut adalah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada sebagaimana telah kami uraikan didalam permohonan PAP kami pada Mahkamah Agung," katanya.
Sehingga, lanjut dia, tidak bisa dikatakan permohonan tersebut kedaluwarsa dan atau lewat waktu. "Di samping itu permohonan kedua dari PAP tersebut dengan Nomor 2 P/PAP/2019, tidak dapat dikatakan nebis in idem karena dalam permohonan aquo Mahkamah Agung belum memeriksa pokok permohonan/materi Permohonan,' ungkapnya.
Dia mengatakan, MA baru memeriksa syarat formil khususnya mengenai legal standing pemohon dan kemudian memberikan putusan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard) dikarenakan legal standing pemohon yang cacat formil.
Dia menuturkan, Bawaslu bukan Pengadilan tingkat pertama, karena Bawaslu bukan badan atau lembaga peradilan atau lembaga peradilan khusus.
Namun, lanjut dia, Bawaslu adalah Badan Pelaksana Pemilu yang berfungsi sebagai Pengawas dan diberi kewenangan oleh Undang-undang Pemilu untuk menerima laporan pelanggaran pemilu, memeriksa dan memutuskan Laporan, serta memberikan rekomendasi kepada KPU atas putusan laporan Bawaslu.
"Dengan demikian Bawaslu tidak dapat dipersamakan dengan lembaga peradilan seperti pengadilan negeri, karena Bawaslu tidak berada didalam lingkup UU Mahkamah Agung dan atau UU Kekuasaan Kehakiman," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, karena Bawaslu dalam Putusan Pendahuluan No.01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019, tanggal 15 Mei 2019, tidak menerima Laporan Pelapor Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais dengan alasan legalitas alat bukti.
"Dan atas Putusan Pendahuluan Bawaslu tersebut tidak ada Keputusan KPU untuk menindak lanjuti Putusan Pendahuluan Bawaslu, maka Laporan Pelapor Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais terhenti sampai pada Putusan Pendahuluan Bawaslu No.01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019, tanggal 15 Mei 2019," tuturnya.
Dia mengatakan, dengan tidak adanya Kepastian Hukum terhadap Laporan Pelapor sebagaimana tersebut di atas maka pelapor (dalam hal laporan ke Bawaslu) Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais mengajukan Permohonan PAP No1 P/PAP/2019 ke Mahkamah Agung pada tanggal 31 Mei 2019.
"Kemudian daripada itu pada tanggal 26 Juni 2019, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 1 P/PAP/2019, Yang pada pokoknya dalam amar putusan Mahkamah Agung tidak menerima permohonan pemohon Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais, dengan pertimbangan cacat formil, yaitu legal standing dari Djoko Santoso - Ahmad Hanafi Rais bukanlah sebagai pemohon prinsipal," tuturnya.
Dia menerangkan, berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 P/PAP/2019 yang tidak menerima permohonan Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais dikarenakan masalah formil yuridisnya, yaitu tentang legal standing Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais bukan sebagai pemohon prinsipal maka pasca putusan Mahkamah Agung tersebut.
Untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan, pemohon prinsipal dalam hal ini capres-cawapres Prabowo-Sandi mengajukan permohonan PAP pada Mahkamah Agung. Permohonan PAP diterima serta diregister oleh Panitera Mahkamah Agung RI dengan Nomor Register Permohonan Nomor 2 P/PAP/2019.
"Bahwa Permohonan PAP pada Mahkamah Agung RI bukanlah merupakan Kasasi dikarenakan rasa tidak puas terhadap putusan PHPU MK tertanggal 27 juni 2019, akan tetapi Permohonan PAP dari Prabowo-Sandi tersebut adalah menindaklanjuti upaya hukum terhadap Laporan TSM terdahulu yang diajukan oleh Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais, terhadap putusan pendahuluan Bawaslu No.No.01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019, tanggal 15 Mei 2019, dan Permohonan PAP kepada Mahkamah Agung yang diajukan Djoko Santoso-Ahmad Hanafi Rais dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 P/PAP/2019 tertanggal 26 Juni 2019," tuturnya.
Menurut Nicholay, mendapatkan kepastian hukum dan keadilan adalah hak setiap warga negara untuk melakukan upaya hukum sesuai dengan yang telah ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Walau langit runtuh, hukum dan keadilan harus ditegakkan. Tiada kebenaran yang mendua. Demikian hal-hal yang perlu kami sampaikan untuk meluruskan pemberitaan yang simpang siur serta opini-opini yang menyesatkan tentang permohonan PAP capres-cawapres 02 Prabowo-Sandi pada Mahkamah Agung," tuturnya.(sndo)