Jumat, 21 Juni 2019 13:24 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo mengatakan bahwa pagu anggaran kementerian dan lembaga (K/L) saat ini memang banyak mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan anggaran tersebut harus tetap juga mempertimbangkan posisi dari kebutuhan mendesak yang ada.
“Penurunan ini tentunya harus melihat dimana posisi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan mendasar, dan itu harusnya jangan dikurangi,” kata Firman di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Untuk menghadapi sistem anggaran seperti sekarang ini, sambung Firman, semua pihak harus mulai berpikir kedepan dimana posisi perencana anggaran atau tata kelola keuangan negara yang sesungguhnya menjadi domain dari Presiden.
“Presiden mempunyai kewenangan untuk menentukan besar kecilnya anggaran. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan bertugas mencari sumber uangnya. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa kewenangan untuk mengatur masalah anggaran ini adalah Menteri Keuangan. Ini mereduksi kewenangan Presiden. Seharusnya Presiden yang menentukan bukan Menteri Keuangan,” ujar politikus Golkar ini.
Firman pun mencontohkan ketika dirinya terkejut ketika mengetahui anggaran Kepala Staf Kepresidenan (KSP) hanya senilai Rp 70 miliar rupiah.
“Tugas KSP itu sangat luar biasa yakni sebagai corong atau mata telinga dari Presiden. Dengan anggaran dibatasi itu bagaimana Presiden bisa maksimal dalam melaksanakan kinerjanya. Bagaimana aparatur negara yang ada disekitar istana tersebut bisa berkerja maksimal kalau anggarannya dibatasi. Termasuk mengenai biaya anggaran untuk Kepresidenan RI 1 dan RI 2 yang jumlahnya hanya 101 miliar rupiah,” kata Firman.
Ini bukanlah anggaran yang besar, lanjutnya, karena tugas Presiden sangat berat. “Kalau sistem anggarannya seperti ini maka pengendali keuangan negara itu bukan Presiden tetapi Menteri Keuangan, padahal tugas Menteri Keuangan adalah untuk mencari uang. Apa tidak ada pemikiran-pemikiran supaya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 itu untuk dikembalikan,” ujar Firman.
Ia menyampaikan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 itu masuk dalam rezim pasca reformasi, dimana ketika itu euforianya pemerintahan orde baru adalah pemerintahan yang korup, karena keuangan dikendalikan oleh Presiden. Kemudian diregulasi agar ada pengaturan keuangan negara itu oleh Kementerian Keuangan.
“Ini salah. Karena di dalam konstitusi Presiden yang seharusnya memegang mandat untuk mengatur keuangan negara. Presiden harus mempunyai kewenangan penuh terhadap keuangan negara. Anggaran yang mengikuti rencana kerja, bukan rencana kerja yang mengikuti anggaran. Sebab kita ingin negara maju, oleh karenanya rencana kerja lima tahun harus terukur,” tegasnya.
Reduksi Kekuasaan Presiden
Sebelumya, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo menilai adanya undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sangat urgent direvisi. Sehingga bisa menegaskan posisi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keuangan negara untuk urusan pemerintahan.
“Tak seperti saat ini, institusi kepresidenan seperti Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kantor Staff Presiden, maupun kementerian/lembaga harus mengemis kepada Kementerian Keuangan. Sehingga menimbulkan kesan Kementerian Keuangan berada diatas presiden karena kekuasaan keuangan negara yang sesuai amanat konstitusi adalah menjadi kewenangan presiden dan hingga saat ini berasa di kementerian keuangan,” kata pria akrab disapa Bamsoet dalam keterangan pers, Jumat (21/6/2019).
“Hal ini tak boleh terjadi, karena bisa mereduksi kewenangan kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat,” sambung Bamsoet.
Ia menjelaskan, dengan meneguhkan kedaulatan presiden dalam hal pengelolaan keuangan negara melalui revisi UU No.17 Tahun 2003, secara simultan juga akan meneguhkan sistem presidensil dalam ketatanegaraan.
Dengan demikian para menteri bisa leluasa merencanakan program kerja yang konkret sebagai visi misi dan implementasi platform kebijakan presiden, tanpa perlu takut adanya penyunatan dan pengendalian anggaran oleh Kementerian Keuangan.
“Karena pada hakikatnya, presiden lah yang punya kekuasaan menentukan besaran anggaran di setiap pos kementerian/lembaga.
Hal ini juga bisa merangsang kementerian/lembaga untuk meningkatkan kinerjanya menjadi lebih baik lagi. Karena kementerian/lembaga yang performnya bagus bisa mendapat reward penambahan anggaran, yang tak perform bisa mendapat punishment, langsung dari presiden tanpa campur tangan kementerian lainnya,” ujar politikus Golkar ini.
Ia menambahkan, seandainya ada keterbatasan anggaran untuk memenuhi program kerja kementerian/lembaga, menjadi tugas Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatan negara.
“Bukan malah melakukan pemotongan anggaran yang berakibat kepada penurunan kinerja kementerian,” tegasnya.