Selasa, 28 Mei 2019 21:25 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ramadan adalah bulan menahan nafsu kebinatangan dan kesetanan seperti syirik, sombong, dengki, brutal, kekerasan, dan vandalisme yang seringkali merusak fitrah kemanusiaan. Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna berada dalam kesucian dan keyakinan asli sebagaimana saat ia dilahirkan.
Guru Besar bidang Psikologi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, MA, mengatakan bahwa fitrah manusia tercermin dalam tindakan berpuasa seperti menahan diri, bekerjasama, saling berbagi, menyebarkan kebaikan. Semangat Ramadan harus menjadikan manusia Indonesia kembali ke fitrah kemanusiaan dan fitrah kebangsaan sebagai warga negara yang mencintai perdamaian, bergotong royong, dan mengukuhkan persatuan.
“Karena secara sosial kita semangatnya memberi. Karena psikologi Rahmat itu: pertama, penuh perhatian kepada orang, kedua, semangat ingin memberi, ketiga, memaklumi kekurangan orang, keempat, memaafkan kesalahan orang. Itu secara sosial. Jika orang seperti itu maka dia akan mengarah kepada Fitrah,” ujar Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, MA, di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Sedangkan kalau secara rasional menurutnya, ada ketertiban yang mesti dijaga. Yang kesemuanya itu bagi kita harus mempunyai rasa keadilan. Karena kalau rasa keadilan itu tercabut tentunya akan memancing orang untuk berbuat anarki atau munafik.
“Jadi yang namanya cinta tanah air itu bagian dari iman itu adalah khas Indonesia. Kemudian patuh kepada pimpinan. Tetapi pimpinan itu akan dipatuhi jika dia kontribusinya jelas dan amanah. Maka itu akan ada rasa saling mengisi dan memiliki fungsi.. Karena pemimpin yang dipatuhi secara alamiah yaitu matahari, untuk itulah dibutuhkan ‘matahari’ bangsa,” kata pria kelahiran Purwokerto, 15 Desember 1945 ini.
Mubarok mengatakan, mengapa ‘matahari’ itu harus dipatuhi, hal tersebut dikarenakan dari sifat matahari ketika terbit orang akan bangun. Lalu ketika matahari naik, maka orang akan kerja. Demikian pula ketika matahari mulai turun, orang akan istirahat. Dan ketika matahari tenggelam, orang akan tidur. Dan ketika matahari terbit, bintang tidak akan nampak.
“Mengapa orang patuh kepada ‘matahari’ ? Karena matahari itu konsisten di dalam memberi kontribusi, kehangatan, keterangan dan sebagainya. Tapi kalau bangsa ini tidak punya pemimpin matahari, maka akan banyak bintang-bintang politik. Akibatnya persatuan ini agak susah diatur,” ujar Ketua Harian Yayasan Amanah Kita ini menjelaskan.
Untuk itulah menurutnya, masyarakat harus dapat memakna fitra dan implementasi untuk keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Karena masyarakat Indonesia itu punya budaya yang mana budaya Indonesia bersumber atau mengacu pada alam yang contohnya seperti ‘matahari’ tadi yang suka memberi. Contoh lain yakni pohon yang kalau di gunting-gunting akan tumbuh daun-daun baru.
“Jadi kalau kita memberi, jutru ini akan bertambah yang segar. Dan sumber-sumber budaya itu juga merupakan ajaran agama. Oleh karena itu budaya Indonesia itu sesungguhnya sarat dengan ajaran-ajaran agama,” ucap Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) ini.
Dalam hal tersebut Mubarok mencontohkan dengan dasar negara, Pancasila yang mana Pancasila ini bandingannya hanya Piagam Madinah dari Rasul Muhammad SAW yang tentunya Piagam Madinah itu sangat luar biasa sekali dalam upaya mempersatukan antar umat yang berbeda-beda.
“Problem di Indonesia ini adalah bagaimana membumikan Pancasila itu sendiri. Jadi bukan sibuk ‘saya Pancasila’. Bukan seperti itu. Tetapi bagaimana membumikan Pancasila dalam kehidupan berpolitik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial. Jika hal tersebut bisa diterapkan, maka otomatis rasa persatuan antar sesama warga itu akan dating meski kita berbeda-beda,” tutur mantan anggota MPR RI ini.
Dalam hal tersebut dirinya memberikan contoh seperti negara Selandia Baru, sebuah negara dengan standar kebahagiaan yang tinggi dan bisa menjadikan masyarakatnya merasa nyaman. Hal ini dikarenakan keadilan benar-benar ditegakkan dan bahkan pemimpinnya sangat ketat di dalam menjaga norma-norma.
“Di Selandia Baru karyawan itu gajinya cukup untuk hidup dengan standar. Tidak ada dibawah garis kemiskinan. Sementara di Indonesia tantangannya, sangat besar yang mana penduduknya sangat banyak, tingkat pendidikannya juga tidak merata maka diperlukan pemimpin yang betul-betul kuat, dan konsisten. Ini yang menjadi tantangan di Indonesia hingga sekarang,” katanya.
Lebih lanjut Mubarok mengatakan, seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai makna berada dalam kesucian dan keyakinan asal sebagaimana saat ia dilahirkan. Dan masyarakat harus menyadari bahwa melakukan tindakan kekerasan, menyebarkan kebencian, mengadu domba, serta tindakan terorisme itu bukanlah bentuk fitrah manusia. Untuk itulah manusia diminta untuk bisa menjaga kesuciannya.
“Suci itu unsurnya ada tiga yaitu baik, benar dan indah. Kalau tidak baik, pasti tidak Indah. Kalau tidak benar, pasti juga tidak indah. Jadi kalau kita menjaga kesucian pergaulan, kesucian cita-cita, kesucian perjuangan tentunya harus dilakukan dengan benar, pendekatan yang baik. Karena dari situ kemudian timbul keindahan,” tutur mantan Wakil Ketua Komisi Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Untuk itulah menurutnya dalam membangun fitrah sosial di kehidupan bangsa ini harus selalu dengan mensosialisasikan tentang kebenaran dan kebaikan. Sehingga dapat diperoleh hasil yang harmoni antara yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu dirinya juga meminta kepada masyarakat untuk dapat menjaga kemajemukan yang dimiliki bangsa ini agar masyarakat bangsa ini tetap rukun dan bersatu. Karena majemuk itu memiliki arti yang bermacam-macam, ada yang besar dan ada yang kecil. Yang mana yang dibutuhkan adalah pertukaran peran, dimana sesungguhnya yang besar membutuhkan yang kecil dan yang kecil juga membutuhkan yang besar.
“Contoh, orang kaya butuh ada kuli, butuh pembantu. Sementara pembantu butuh ada orang yang bisa membayar. Nah kalau orang kaya menghargai orang kecil, maka orang kecil juga akan menghargai orang kaya. Tetapi kalau orang kaya mengeksploitasi orang kecil, maka tidak terjadi harmoni. Disitulah agama mengatur. Seperti zakat, dimana zakat adalah hak orang miskin yang ada pada orang kaya. Kalau ada orang kaya bayar zakat itu bukan kebaikan, tapi itu menunaikan kewajiban. Kalau mau kebaikan, tentunya dia memberi lebih dari apa yang diwajibkan,” katanya menjelaskan.
Dalam kesempatan tersebut dirinya juga menghimgbau kepada masyarkat untuk selalu menjaga persatuan di tengah perbedaan yang ada pasca Pilpres 2019 lalu. Karena perbedaan itu sesungguhnya Sunatullah. Dirinya meminta masyarakat untuk menyadari bahwa berpolitik itu ibarat seperti music. Dimana musik itu ada nada, ada irama atau irama dan ada harmoni.
“Kapan nada itu dibunyikan, tentunya sesuai ritmenya yang kemudian akan menjadi Harmoni. Sehingga perbedaan itu menjadi musik yang indah. Tapi kalau nada itu sendiri tidak mengikuti ritme, maka akan terjadi cheos. Nah budaya politik inilah yang harus dimiliki oleh kita semua,’ katanya.
Karena sejatinya menurutnya, politik itu adalah game atau permainan. Tetapi yang terjadi sekarang ini politik itu justru bukan permainan, tetapi menjadi mempermainkan. “Saya melihatnya politik sekarang ini bukanlah permainan. Karena kalau permainan itu sebenarnya indah, tapi kalau mempermainkan tentunya kita akan kesal, menjadi korban. Nah tentunya kita harus dapat menahan diri agar tidak kesal dengan apa yang terjadi,” ujarnya mengakhiri.