Jumat, 27 Juli 2018 08:07 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota Komisi II DPR Firman Soebagyo meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 menolak caleg berasal dari pengurus parpol maju di sebagai caleg DPD.
Menurut Firman, KPU harus bisa tegas dalam masalah ini. Sebab, putusan MK adalah final mengikat dan wajib dipatuhi oleh semua pihak termasuk KPU.
"Tentunya dengan keluar putusan MK ini, maka KPU seyogyanya harus mematuhi maupun menaati aturan ini. Karena putusan sudah final maka KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memasukan pasal sudah diputuskan MK ke dalam PKPU sebagai dasar hukumnya," kata Firman di gedung DPR, Jumat (27/7/2018).
Politikus Golkar ini menjelaskan, KPU harus berani mengambil sikap soal putusan MK ini. Sebab, lembaga pimpinan Arief Budiman Cs ini saja sudah berani memutuskan jika caleg bekas narapidana tidak boleh ikut dalam pencalegan dan pasal itupun sudah dimasukan ke dalam PKPU. Apalagi, MK sebelumnya sudah membatalkan putusan itu (mantan narapidana boleh ikut caleg).
Karena itu jika KPU tidak berani menjalankan putusan MK soal caleg DPD tidak boleh berasal dari parpol dan memasukan ke dalam PKPU maka justru nanti akan banyak pertanyaan muncul di masyarakat.
"Nah putusan MK no 30 ini sudah secepatnya harus diimplementasikan ke dalam PKPU oleh KPU. Dan lembaga ini harus berani ambil sikap. Karena KPU saja sebelumya sudah menabrak UU soal mantan napi tak boleh nyaleg, masa pasal ini tidak berani dimasukan nanti bisa jadi pertanyaan," terang Firman.
Oleh karena itu, Firman sangat mengimbau agar semua pihak kembali menghormati putusan MK tersebut.
"Karena itu keputusan MK dan itu lembaga peradilan tertinggi maka hukumnya wajib untuk semua warga negara itu menaati seluruh aturan dari putusan MK dengan sebaik-baiknya," tandasnya.
Sebelumnya, Pengacara Ketua DPD sekaligus Ketua Umum Partai Hanura Yusril Ihza Mahendra Oesman Sapta Odang (OSO) menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK memerintahkan KPU melarangan funsionaris partai menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Pemilu 2019.
Yusril menilai pertimbangan MK memerintahkan KPU untuk melakukan suatu tindakan tertentu telah melampaui kewenangan.
"Pertimbangan seperti itu (MK memerintahkan KPU menolak calon anggota DPD berlatar belakang fungsionaris partai) tidak perlu dipatuhi oleh KPU," ujar Yusril, Kamis (26/7/2018).
Yusril menjelaskan MK hanya diberi kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD. MK, kata dia, hanya berwenang untuk memutuskan apakah norma UU yang diuji bertentangan atau tidak dengan norma konstitusi.
Atas penjelasan itu, ia menilai MK tidak berwenang memberi perintah atau arahan kepada suatu lembaga untuk melakukan tindakan terntentu, seperti arahan kepada KPU sebagaimana tertunag dalam pertimbangan hukum dalam putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018.
"Bagaimana penerapan keputusan MK itu adalah sepenuhnya menjadi kewenangan badan pembentuk UU atau aparatur penyelenggara lainnya," ujarnya.
Selain menyalahgunkan kewenangan, Yursril menilai putusan MK tidak retro-aktif atau berlaku surut ke belakang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 UU tentang MK.
Atas hal tersebut, putusan MK tidak dapat membatalkan pencalonan fungsionaris partai sebagai calon anggota DPD di KPU. Sebab, ia mengatakan putusan MK atas uji materi tersebut keluar setelah lima hari KPU melakukan verifikasi terhadap calon anggota DPD.
Ia berkata fungsionaris partai yang mendaftar sebagai calon anggota DPD telah memenuhi kewajibannya dalam melakukan pedaftaran sebelum larangan itu ada.
"Kalau ini harus dibatalkan karena adanya putusan MK maka jelaslah bahwa putusan MK itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar Yusril.
Di sisi lain, Yusril juga mengklaim PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tidak otomatis gugur dengan adanya putusan MK. Sebab, ia menyebut PKPU disahkan dan diundangkan sebelum Putusan MK berlaku.
"PKPU itu sendiri baru gugur apabila dinyatakan bertentangan dengan norma UU oleh Mahkamah Agung atau dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh KPU sendiri," ujarnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, anggota DPD tidak bisa diberikan oleh pengurus partai politik. Hal ini disampaikan oleh para Hakim MK, pada saat yang sama telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 182 huruf l, khususnya frasa 'pekerjaan lain', yang diajukan oleh perseorangan Muhammad Hafidz.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman dalam persidangan diJakarta , Senin (23/7/2018).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menuturkan, dengan tidak adanya penjelasan terhadap frasa 'pekerjaan lain', dapat menimbulkan masalah dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan dalam Surat Bahasa.