Kamis, 24 Mei 2018 07:06 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menetapkan peraturan tentang narapidana korupsi tidak boleh menjadi Caleg di Pileg 2019.
Sebelumnya, DPR menolak gagasan KPU melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkotika, dan terorisme dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 22 Mei 2018.
ICW kemudian membuat petisi dan pihaknya mengklaim sudah ada 67.200 masyarakat yang mendatangani petisi tersebut dari periode April 2018.
“Hingga siang ini, sedikitnya 67.200 orang mendatangani petisi dukungan untuk KPU di change.org/korruptorkoknyaleg,” seperti dikutip dari pers rilis ICW, Rabu (23/5/2018).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, KPU tidak boleh merubah keputusan karena berbeda pendapat dengan DPR.
“Sifat konsultasi DPR dengan KPU itu tidak mengikat. Jadi tidak boleh kemudian sikap KPU beralih begitu setelah konsultasi sikap itu kemudian beralih dari pernyataan KPU yang sebelumnya,” ujarnya di kantor ICW, Kalibata, Jaksel, Rabu (23/05/2018).
Ferry menambahkan, jika KPU mengubah pernyataannya itu jutru bertentangan dengan Mahmakah Konstitusi (MK).
Dalam kesempatan ini, turut hadir Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Syamsudin Alimsyah,Pendiri Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), Hadar Nafis Gumay, Pusat Studi kontitusi Universitas Andalas Fert Amsar, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titik Amira, Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif).
Tak Mau Disalahkan
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali mengatakan, sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tetap melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif rawan digugat.
"Iya, udah, silahkan jalan aja, kan gini kemarin kesimpulan rapat kita adalah Komisi II kemudian Bawaslu dan pemerintah (kemendagri) ikutin UU. Kemudian KPU membuat yang di luar UU, silahkan. Kan pasti ada yang menggugat itu aja," kata Amali.
Amali mengaku, pihaknya telah sepakat menolak usulan KPU terkait pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi Caleg.
Amali mengungkapkan, alasan penolakan tersebut karena dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu tidak diatur pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi menjadi Caleg.
Jika KPU tetap mamaksakan adanya pelarangan tersebut dimasukkan PKPU, politikus Partai Golkar ini mengaku yakin akan ada pihak yang menggugatnya di Mahkamah Agung (MA).
"Jadi ya silahkan aja. Tapi kalau ada gugatan harus dihadapi. Artinya, DPR, pemerintah dan Bawaslu terlepas dari gugatan itu karena kesimpulan rapat kami sudah jelas. Kami berpegang teguh pada UU," tegas dia.
Amali menyarankan, sebaiknya KPU memberikan surat imbauan ke semua partai politik, untuk tidak mengusulkan Caleg dari mantan narapidana terorisme.
"Kemarin saya sudah menawarkan kalau juga begitu PKPU tetap sama seperti UU. Kemudian bikin imbauan atau edaran kepada Parpol kan kemarin itu. Kan itu tawaran yang bijak lah dari kita tapi kalau tidak mau dijalani, silahkan," tandasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap pada keputusannya melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tantowi mengatakan walaupun DPR lewat Komisi II sudah menolak pelarangan eks koruptor jadi caleg. Tapi KPU tetap bersikukuh untuk jalan terus.
"Soal aturan mantan napi koruptor kita tetap untuk tidak memperbolehkannya," ujar Pramono di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Pramono juga tidak mempermasalahkan apabila nantinya PKPU pelarangan mantan koruptor menjadi caleg digugat di Mahkamah Agung (MA). Sebab menurut KPU telah mempersiapkan segala macam argumen untuk melawan gugatan tersebut.
"Ya kita akan siapkan argumen. Nanti kami akan bisa beradu argumen," katanya.
Alasan tetap melarang mantan koruptor menjadi caleg dikatakan Pramono karena ingin mewujudkan pemilu yang berkualitas. Apalagi hal ini juga merupakan amanat dari reformasi.
"Salah satu aspirasi saat reformasi dulu memberantas KKN. Maka dari itu harus dimulai dari pemberantasan korupsi," pungkasnya.