Kamis, 17 Mei 2018 07:41 WIB

Pelibatan TNI Hanya Saat Negara dalam Situasi Kritis

Editor : Rajaman
Ilustrasi Prajurit TNI (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, Pansus Rancangan Undang-undang (RUU) Terorisme yang menjadi revisi atas UU 15/2003 telah bersepakat bahwa TNI perlu dilibatkan dalam penanggulangan terorisme. Namun, TNI hanya akan dilibatkan saat negara berada dalam situasi kritis.

"Misalnya dalam kondisi di mana pemerintah menganggap skala ancamannya sudah kritis, gawat karena serangan teroris demikian masif, meluas. Atau, pergerakan kelompok terorisnya ada di daerah yang sulit kalau hanya polisi yang bergerak, seperti di pegunungan Poso tempo hari," ujar Arsul, Kamis (17/5/2018).

Arsul menuturkan, meski Pansus sepakat soal pelibatan TNI itu, ketentuan dan mekanisme yang rincinya tetap harus dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Perpres ini sebagai keputusan politik negara yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Artinya, dengan Perpres itu, Presiden memiliki kewenangan menentukan kapan TNI dilibatkan menanggulangi teroris tanpa harus berkonsultasi lagi dengan DPR pada tiap kasus terorisme yang dihadapi. Tentunya, pelibatan TNI ini didasarkan pada kebutuhan yang bersifat situasional.

"Dalam Perpres ini bisa saja kemudian Presiden memilih untuk membentuk Koopssusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan) sebagaimana wacana yang sedang berkembang," terang dia.

Wacana revisi UU Terorisme kembali menyeruak ke publik setelah terjadi aksi teror di sejumlah daerah beberapa hari belakangan. Salah satu yang cukup mendapat sorotan yaitu soal pelibatan TNI yang masih menimbulkan perbedaan pandangan. Khususnya, terkait skala ancaman terhadap negara yang seperti apa hingga TNI bisa terlibat.

Selain itu, hal yang juga disorot yakni soal kewenangan Polri dalam menindak pihak yang berencana membuat teror. Dengan UU Terorisme yang berlaku sekarang, Polri baru bisa menangkap orang yang berencana membuat teror setelah terjadi peristiwanya.

Karena itu, melalui revisi UU Terorisme, Polri diharapkan memiliki kewenangan menangkap pihak yang berencana meneror sebelum peristiwa terjadi. Namun sebagian kalangan khawatir bila kebijakan tersebut disahkan, akan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia maupun kebebasan berekspresi tiap individu. 


0 Komentar