Jumat, 13 April 2018 07:19 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - RUU Perfilman yang diinisiasi Komisi X DPR RI sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Ini sangat menggembirakan, karena RUU tersebut selain merevisi UU No. 33/2009 tentang Perfilman juga akan membenahi regulasi perfilman itu sendiri. Banyak isu yang perlu dibenahi dalam industri film nasional. Kepentingan bisnis, edukasi, dan hiburan harus seimbang.
Anggota Komisi X DPR Venna Melinda mengungkapkan banyak hal tentang agenda revisi UU lama tentang perfilman ini. Isu kesejahteran insan film berupa asuransi, pensiun, jaminan kesehatan, distribusi film, hingga pendidikan perfilman jadi perbincangan menarik.
Ia menyatakan, sudah saatnya UU lama direvisi karena tak sesuai lagi dengan perkembangan industri film mutakhir.
“Industri film nasional sudah bagus. Beberapa film kita sudah mendunia seperti Dilan 1990. Kalau industrinya sudah maju tentu regulasinya harus dibenahi. Sudah delapan tahun UU Perflman diberlakukan, tapi enggak ada PP dan Permennya. Itu sama saja bagai hidup di hutan belantara yang tak jelas arahnya mau ke mana. Pemerintah harus mendukung ekosistem perfilman nasional,” kata Venna, Jumat (13/4/2018).
Soal distribusi film, ada eksibitor yang beroperasi di Indonesia seperti 21, Cinemaxx, CGV, dan lain-lain. Eksibitor ini mengeluhkan layar film di tanah air yang masih kurang. Padahal populasi rakyat Indonesia ada 250 juta jiwa.
Tidak semua provinsi memiliki layar cinema yang dikunjungi penonton. Karena layar film kurang, akibatnya banyak yang membeli vcd bajakan untuk menonton film favoritnya.
“Ini problem sendiri. Mestinya orang film dapat kesejahteraan dari situ. Tapi, akhirnya tak mendapat apa-apa,” keluh Venna.
Kini, sambung politisi Partai Demokrat itu, ada daftar negatif investasi (DNI) film yang sudah dibuka di Indonesia. Itu artinya semua production house (PH) internasional bisa membuka PH di dalam negeri. Ini butuh kesiapan SDM film di dalam negeri untuk menghadapinya. Venna melihat, selama ini SDM film sangat minim. SMK perfilman, misalnya, hanya ada beberapa di Indonesia. Jurusan film juga terbatas, hanya ada di IKJ dan ISI.
“Kenapa kita tidak punya institusi pendidikan khusus film. Kampus-kampus ternama di Indonesia, seprti UI, UGM, dan UNPAD mestinya membuka jurusan perfilman atau fakultas perfilman dan sinematografi. Yang ada sekarang justru SMK broadcasting, itu sangat berbeda dengan dunia film,” ungkap Venna.
Inilah sedikit persoalan terkini industri film nasional. Dan RUU perfilman ini diharapkan mampu menjawab semua tantangan dan masalah industri film ke depan.