Sabtu, 17 Februari 2018 10:00 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati menyayangkan lemah kinerja BPOM atas kasus munculnya produk Albotyl yang ternyata memiliki kandungan yang berbahaya bagi masyarakat. Padahal, produk ini telah lama beredar di masyarakat secara luas.
"Kenyataan bahwa produk Albotyl berbahaya, jelas-jelas merugikan konsumen. Dalam kasus ini, konsumen tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya," kata Okky melalui pesan singkat, Sabtu (17/2/2018).
Okky menuturkan, peristiwa ini menunjukkan lemahnya pengawasan BPOM baik pre market maupun post market terhadap produk makanan, minuman dan obat-obatan. Harusnya, setiap produk makanan, minuman dan obat-obatan sebelum dipasarkan harus dilakukan pengawasan pre market maupun post market. Langkah ini penting untuk memastikan setiap produk makanan, minuman dan obat aman dikonsumsi masyarakat.
"Kami menangkap kesan, jika produk impor tidak perlu perlu pengawasan pre market. Pandangan ini tentu tidak tepat, produk impor maupun produk lokal, harus tetap diawasi baik pre market maupun post market," tuturnya.
Dalam menangani kasus Albotyl ini, lanjut politikus PPP, ada kesan BPOM menerapkan standard ganda. Jika menghadapi produsen pelanggar aturan dalam hal makanan, minuman dan obat-obatan dari kalangan kecil, BPOM bertindak tajam dan tegas.
Namun sebaliknya, bila BPOM menghadapi produsen yang melanggar aturan dari kalangan besar, kesan tumpul dan tidak bertaji cukup tampak diperlihatkan BPOM.
"Padahal merujuk Pasal 196 UU Kesehatan disebutkan siapa saja yang memproduksi, mengedarkan sediaan farnasi atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu diancam pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1 miliar," ujar mantan Pragawati dan desainer ini.
Lebih lanjut Okky menilai, BPOM dalam melakukan pengawasan terhadap produk makaman, minuman dan obat-obatan baik pre market dan post market sebenarnya tidak ada alasan disebabkan kurangnya anggaran. Karena pagu anggaran untuk BPOM untuk tahun 2018 ini sebesar 2,17 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2017 lalu sekitar Rp 1,9 triliun.
"Meski harus kita sadari postur kelembagaan BPOM saat ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang bisa memberikan sanksi bila menemukan kasus pelanggaran yang dilakukan produsen makanan, minuman dan obat-obatan," jelasnya.
Setiap kasus pelanggaran harus tetap diselesaikan melalui jalur kepolisian atau kejaksaan (lembaga penegak hukum). Akibatnya, proses terhadap pihak-pihak pelanggar membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Meski, saat ini di BPOM ada penambahan Deputi IV yang khusus bertugas menangani persoalan hukum terkait pengawasan terhadap makanan, minuman dan obat-obatan. Karena kalau BPOM hanya mengurus soal izin termasuk membekukan izin tentu tidak ada efek jera," tegasnya.
Okky menambahkan, DPR telah memasukkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam rancangan tersebut, BPOM didesain sebagai lembaga yang dapat memberikan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan.
"Upaya ini dimaksudkan agar BPOM dapat memiliki peran yang lebih, tidak hanya sekadar urusan administrasi izin semata," tandas Okky.