Rabu, 13 September 2017 09:21 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengaku tidak mempermasalah alasan Jaksa Agung sempat mengusulkan kewenangan penuntutan KPK harus mendapat izin dari Kejagung seperti disampaikannya dalam RDP dengan Komisi III Senin (11/9/2017).
Sahroni berpendapat, jangan semua pihak mengenalisir apa yang disampaikan oleh Jaksa Agung sebagai upaya melemahkan penegakan hukum lain.
"Semuanya kan sudah diatur dalam UU yang berlaku. Di dunia mana pun baik penyidikan dan penuntutan kan sudah terpisah. Dan bila memang hak penuntuan ada di Kejaksaan ya sudah itu hak mereka (sebagai kuasa penuntut umum)," kata Sahroni kepada Tigapilarnews.com, Rabu (13/9/2017).
Politikus NasDem ini menilai, sangat aneh bila seolah-olah kerja dari Kejaksaan tidak boleh melakukan penuntutan seperti dikatakan oleh beberapa pihak.
"apa fungsi Kejaksaan kalau akhirnya tidak boleh menuntut atas kewenangan dengan dasar UU kan aneh," terang Sahroni yang juga anggota Pansus Angket KPK ini.
Sebelumnya, Ketua Setara Institute Hendardi menilai pernyataan Jaksa Agung HM. Prasetyo perihal usulan pelimpahan kewenangan penuntutan KPK ke Kejaksaan lebih menyerupai pernyataan seorang politisi dibanding sebagai pernyataan pejabat pemerintahan.
“Sejak awal HM Prasetyo memang lebih memilih berpolitik di wilayah penegakan hukum dibanding menjadi Jaksa Agung yang profesional menegakkan hukum,” ujar Hendardi dalam keterangan pers, Rabu (13/9/2017).
Menurutnya, publik sangat paham, langkah-langkah Prasetyo dalam memimpin korps Kejaksaan lebih dikendalikan oleh argumen dan pertimbangan politik dibanding murni penegakan hukum. “Tidak ada prestasi Jaksa Agung selama hampir 3 tahun memimpin,” katanya.
Lebih lanjut Hendardi menilai Prasetyo bukan hanya offside dalam mengeluarkan pendapat tetapi juga indisipliner karena sebagai organ pemerintahan, semestinya Prasetyo patuh pada kehendak presiden yang tegas-tegas menolak pelemahan KPK.
Sikapnya yang terus memperburuk integritas dan citra kejaksaan akan berimplikasi pada posisi pemerintah yang dapat digeneralisir sebagai organ yang memperlemah KPK. Sebab itu, dia meminta Jokowi harus mendisiplinkan Prasetyo untuk tidak berpolitik melalui Pansus Angket KPK.
“Sepanjang Jokowi tidak solid dan kokoh dalam memandang upaya-upaya destruktif yang dilakukan oleh Pansus Angket, maka bukan hanya aktor seperti Jaksa Agung saja yang tergoda untuk berpolitik melemahkan KPK tetapi juga aktor-aktor lain bisa bermunculan,” tuturnya.
Dia mengatakan, jika ini terjadi maka ekstensi ketegangan hubungan KPK-DPR akan semakin luas dan membentuk barisan anti-KPK.
“Inilah yang akan disyukuri oleh banyak aktor yang menghendaki pelemahan KPK. Tapi, jika ini terjadi, maka rakyat yang dirugikan karena institusi KPK yang melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan secara transparan dan akuntabel bisa saja menjadi tumpul,” jelasnya.
Dia menambahkan, aspirasi pelimpahan kewenangan penuntutan ke Kejaksaan bukan hanya akan melemahkan KPK tetapi juga melawan nalar antikorupsi yang tengah tumbuh di tengah masyarakat.
“Daripada repot mengomentari KPK, sebaiknya Jaksa Agung fokus pada tugasnya. Minimnya prestasi Jaksa Agung, membuat dirinya tidak mempunyai hak moral untuk mengkritik KPK,” pungkasnya.
Diketahui, Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan kewenangan penuntutan KPK harus mendapat izin dari Kejagung. Ia membandingkan kewenangan tersebut di negara lain seperti Singapura dan Malaysia.
"Kewenangan dari biro antikorupsi Singapura maupun Malaysia terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan saja dan meskipun Malaysia memiliki divisi penuntutan, tapi harus tetap mendapat izin dari Kejaksaan Agung Malaysia," ujar Prasetyo saat rapat dengan Komisi III di gedung DPR, Senin (11/9/2017).
Prasetyo membandingkan pemberantasan korupsi di Indonesia yang menurutnya tak efektif.
"Mereka menyampaikan lembaga penegak hukum yang diberi kewenangan besar cenderung akan sewenang-wenang dan merasa tidak boleh disentuh dan dipersalahkan," imbuhnya.
Ia mengatakan, Kejagung memiliki keterbatasan terkait fungsi penuntutan kasus korupsi. Prasetyo lantas membandingkan dengan Singapura dan Malaysia.
"Jaksa agung adalah penuntut umum tertinggi. Tapi di dalam UU KPK kewenangan tersebut tidak sepenuhnya berlaku. Di Singapura dan Malaysia, tidak saling bersaing dan tidak saling menjatuhkan," paparnya.
Prasetyo mengatakan, kedua negara tersebut lebih efektif dan efisien dalam pemberantasan korupsi.