Selasa, 08 Agustus 2017 11:31 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru disahkan oleh pemerintah dan DPR pada 21 Juli lalu, terutama yang mengatur ambang batas presiden atau presidential threshould 20 persen kursi di parlemen dan 25 persen suara sah nasional, digugat atau judical review oleh masyarakat sipil yang menolak aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Hadi Mulyadi menilai gugatan tersebut akan dikabulkan oleh MK. Sebab, pasal 222 UU Pemilu mengenai PT 20 -25 persen pada hasil pemilu sebelumnya bertentangan dengan putusan MK yang memberlakukan pemilu serentak pada pemilu 2019.
Putusan MK ini telah sesuai dengan makna pasal 6 a UUD 1945 jo pasal 22 e UUD 1945 bahwa pencalonan presiden adalah hak konstitusional Parpol atau gabungan parpol yang dilaksanakan sebelum diselenggarakan pemilu.
Pemilu yang dimaksud pasal 6 a UUD 1945 adalah pemilu yang disebutkan pasal 22 e UUD 1945 yakni pemilu legislatif.
Selain itu, Pasal 222 UU Pemilu yang memberlakukan ambang batas pencalonan presiden dengan merujuk pada pemilu sebelumnya (2014) bertentangan dengan prinsip dasar penyelenggaraan pemilu dalam satu rezim setiap 5 tahun sekali yang bersifat looking forward.
“Jika konsisten seharusnya MK mengabulkan JR UU Pemilu yang menolak PT 20 persen,” kata Hadi Mulyadi, saat dihubungi, Selasa (8/8/2017).
Anggota Pansus RUU Pemilu FPKS, Sutriyono menghormati pihak-pihaknya yang mengajukan judical review UU Pemilu ke MK. Sebab, hal itu merupakan hal setiap warga negara. Namun, Sutriyono berbeda pendapat dengan Hadi Mulyadi.
Anggota Komisi II DPR ini enggan menduga-duga gugatan ini dikabulkan atau ditolak oleh MK. “Ya yang tahu ya MK lah. Kami menghargai pihak-pihak yang JR,” kata Sutriyono.