Jumat, 14 Juli 2017 12:27 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Ketua DPR RI Setya Novanto dalam penyidikan tindak pidana korupsi proyek e-KTP.
Setya Novanto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Nanti ya," kata Setya saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat (14/7/2017) sekira pukul 09.50 WIB.
Setya Novanto yang mengenakan batik coklat lengan panjang kemudian langsung masuk ke dalam gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan.
Sebelumnya, KPK dijadwalkan memanggil Setya Novanto pada Jumat (7/7/2017), namun yang bersangkutan berhalangan hadir karena sakit.
Setya Novanto juga sudah pernah dua kali diperiksa yaitu pada 13 Desember 2016 dan 10 Januari 2017 untuk dua orang yang saat ini sudah menjadi terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Nama Setya Novanto juga disebut dalam surat tuntutan Irman dan Sugiharto yaitu ketika Andi Agustinus alias Andi Narogong menawarkan kepada Irman dan Sugiharto untuk bertemu dengan Setnov demi kelancaran proyek e-KTP dengan mengatakan "Kalau berkenan Pak Irman nanti bersama Pak Giarto akan saya pertemukan dengan Setya Novanto" lalu Irman bertanya "buat apa?" dijawab oleh Andi Agustinus "Masak nggak tahu Pak Irman? Ini kunci anggaran ini bukan di Ketua Komisi II, kuncinya di Setya Novanto" dibalas oleh Irman "O..begitu".
Menurut jaksa penuntut umum KPK, menindaklanjuti kesepakatan itu, beberapa hari kemudian sekitar pukul 06.00 WIB di Hotel Gran Melia Jakarta para terdakwa bersama-sama dengan Andi Agustinus dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini bertemu dengan Setya Novanto. Dalam pertemuan itu Setno menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan e-KTP.
Beberapa hari kemudian Terdakwa I dan Andi Agustinus menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut Irman dan Andi Agustinus meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek penerapan e-KTP. Atas pertanyaan tersebut, Setya Novanto mengatakan 'Ini sedang kita koordinasikan, perkembangannya nanti hubungi Andi".
Sehingga atas bantuan Setnov, konsorsium PNRI yang terdiri atas Perum PNRI, PT LEN Indusgtri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra dapat memenangkan proyek e-KTP dengan nilai kontrak Rp5,841 triliun.
Sampai 2 Agustus 2012, Sugiharto telah melakukan pembayaran tahap 1-3 pada tahun 2011 serta pembayaran tahap 1-2012 yang seluruhnya berjumlah Rp1,979 triliun.
Berdasarkan laporan Andi Agustinus dan Anang S Sudihardja kepada Sugiharto, sebagian uang yang diterima tersebut diberikan kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya yang kemudian memicu perselisihan antara Andi Agustinus dengan Anang karena tidak bersedia memberikan uang lagi.
Atas perselisihan itu, Irman lalu memerintahkan Sugiharto mengadakan pertemuan dengan Andi Agustinus dan direktur utama PT Quadra Solution Anang S Sudihardjo di Senayan Trade Center guna mencari solusi atas perselisihan tersebut, namun keduanya tidak mencapai kesepakatan.
Oleh karena itu Andi Agustinus marah sambil mengatakan "Kalau begini saya malu dengan SN (Setya Novanto), ke mana muka saya dibuang, kalau hanya sampai di sini sudah berhenti".
Pertemuan tersebut, menurut jaksa, merupakan perbuatan permulaan untuk mewujudkan delik, karena pada dasarnya setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut menyadari dan menginsyafi pertemuan tersebut bertentangan dengan hukum serta norma kepatutan dan kepantasan.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Irman sendiri sudah dituntut 7 tahun penjara sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.
Sementara Andi Narogong yang masih berstatus tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
sumber: antara