Senin, 26 Juni 2017 17:01 WIB
JAKARTA,Tigapilarnews com - Anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir menegaskan, sekali lagi alasan fraksinya menolak keberadaan pasal 31 ayat 1 dan 2 dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim karena tak ingin jabatan Hakim/Hakim Agung menjadi jabatan politis dikemudian hari.
Demikian disampaikan Adies saat menanggapi anggota Komisi III lainnya Arsul Sani yang meminta penjelasan fraksi Golkar terkait sikap penolakannya terhadap keberadaan pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang periodesasi jabatan Hakim/Hakim Agung.
"Kalau ditanya alasannya apa? kan saya sudah sampaikan, beberapa alasan, salah satunya hakim lebih mudah di intervensi dengan harapan setiap 5 tahun dapat di pilih kembali. Main save saja dalam memutus perkara, yang penting bisa terpilih setiap periodesasinya," tandas Wakil ketua MKD itu saat dihubungi, Senin (26/06/2017).
Dijelaskannya kembali, dalam UUD 45 pasal 24 ayat 1: kekuasan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan sebuah peradilan. Dan ayat 2 : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau sudah jelas begini, masa kita mau nabrak konstitusi?, apakah masih mau buat hakim bekerja dengan tidak tenang memikirkan periodesasi saja?, dimana letak merdekanya?," sindir dia.
Menurutnya, Kalau hakim melanggar etika, kehormatan, martabat dan perilaku negatif, serahkan saja ke Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi sesuai dengan tupoksinya.
Bukan malah menambah kegaduhan baru dengan mendorong KY agar bisa mengevaluasi (periodesasi) Hakim/Hakim Agung yang tidak baik kinerjanya.
"Hakim harus tetap independen dalam memutus perkara. Tapi tetap etika dan perilaku hakim perlu di awasi oleh KY dan Badan Pengawasan MA. Agar hakim gak keliaran ke karaoke, pijat, makan bareng klien dan pengacara, gampang di suap, kawin lagi, selingkuh, kena operasi tangkap tangan (ott). Ini yang perlu dijaga sebenarnya, perilaku hakim yang seperti ini. Jangan malah bikin hakim tambah susah dengan periodesasi," sindirnya.
"Di MA juga ada badan pengawasnya kok, belum lagi pengawasan dari masyarakat, sudah berlapis-lapis yang mengawasi," sambung Adies.
Diakuinya, fraksinya memang sebelumnya menyepakati keberadaan pasal 31 ayat 1 dan 2 di RUU Jabatan Hakim, namun bukan dalam konteks menyepakati periodesasi yang termaktub dalam pasal tersebut saat ini.
"Memang RUU jabatan hakim itu usulan komisi III, pada saat pembahasan awal di komisi III semua masih dalam perdebatan, wacana periodesasi itu ada, tapi tidak ada keputusan," ungkapnya.
Karena saat itu, terang dia, kesepakatannya nanti akan di bahas lebih detail di dalam pembahasan RUU tersebut.
"Tiba-tiba waktu kembali ke Komisi III di Daftar Inventaris Masalah (DIM) nya sudah keluar seperti itu (point periodesasi jabatan Hakim/Hakim Agung-red), saat keluar point itu jujur fraksi kami yang paling protes, karena kesepakatannya akan dibahas didalam komisi III, begitu juga tentang usulan masa pensiun Hakim," ungkap Adies.
Perlu diingat juga, kata dia, periodesasi jabatan Hakim/Hakim Agung tidak relevan jika mengacu pada sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia saat ini yakni menganut sistem triaspolitika (pemisahan kekuasaan).
"Negara kita jelas membagi kekuasaan menjadi tiga, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, untuk saling bekerjasama tanpa ada intervensi satu sama lain," paparnya.
"Bagaimana kita mau membangun kekuasaan kehakiman yang mandiri kalau Hakim/Hakim Agung dibuat periodesasi per 5 tahun? Ingat hakim itu bukan jabatan politis, mereka menapak karir dari bawah, selama puluhan tahun baru bisa menjadi Hakim tinggi atau Hakim Agung. Tidak seperti kami politisi, yang sewaktu-waktu setiap 5 tahun bisa duduk di parlemen tanpa memandang usia. Di manapun di negara di dunia ini, tidak ada Hakim dan Hakim Agung yang kerjanya dibatasi oleh periodesasi 5 tahunan," tegasnya.
Menyikapi hal tersebut, kata dia, fraksi Golkar akan membangun komunikasi politik dengan fraksi lainnya di DPR yang memiliki visi yang sama.
"Kami tetap akan membangun komunikasi dengan fraksi-fraksi lain yang sepaham tentang pasal ini, agar keputusan yang diambil oleh komisi III, tidak mengganggu Yudikatif, dan tidak membuat 8000 hakim di Indonesia resah. Karena keputusan ini nanti berupa UU yang akan dicatat dalam lembaran sejarah, termasuk nama-nama anggota yang membahasnya," ujar dia.
Untuk itu, Fraksi Golkar sangat berhati-hati dan akan mendengar masukan dari 8000 orang hakim (yang akan di tambah 1500 orang lagi), agar tidak merugikan lembaga peradilan dan para hakim di Indonesia, pangkasnya.