Rabu, 07 Juni 2017 16:46 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pernyataan Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Kwik Kian Gie menyatakan bahwa,Sjamsul Nursalim masih memiliki utang Rp 3,7 trilyun dibantah langsung oleh pengacara Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail.
Maqdir menjelaskan utang tersebut telah dihapuskan, melalui keputusan KKSK pada tahun 2004, no 02/K.KKSK/02/2004. Dalam keputusan tersebut nilai utang petambak ditetapkan setinggi tingginya, Rp 100 juta atau totalnya senilai 1,1 trilyun, dan sisanya sebesar Rp 3,7 Trilyun dihapuskan.
Utang tersebut berasal dari para petani plasma yang bekerjasama dalam konsep inti-plasma Dipasena di Lampung. Saat itu untuk membangun Dipasena, BDNI mengucurkan kredit untuk tambak udang seluas 30, 290 hektar dengan jumlah petani plasma sebanyak 11.000.
Untuk membangun tambak seluas tersebut dan menyediakan infrastuktur, hingga bibit udang, BDNI mengucurkan ke petani tambak, totalnya senilai Rp 1,1 Trilyun.
“Utang tersebut dalam mata uang dollar, karena hasil tambak juga dalam bentuk dollar,” jelas Maqdir.
Dia menuturkan utang itu tidak cash, namun dalam bentuk sarana dan prasarana tambak. Pada saat krisis utang tersebut ikut membengkak, karena meroketnya kurs mata uang dollar.
"Dari Rp 2800/US menjadi hampir Rp 17.000. “Itulah kenapa hutang Dipasena totalnya menjadi 4,8 trilyun,” tambah Maqdir.
Manurut Maqdir, keberadaan Dipasena merupakan salah satu perwujudan kebijakan pemerintah pada saat itu.
"kebijakan pemerintahkan memberikan kredit kepada petani, kepada petambak dalam format loan to farmer, agar mereka bisa bersama-sama dengan perusahaan inti menikmati pembangunan bersama,” jelasnya.
Diketahui, Dipasena menjadi salah satu aset Syamsul yang diserahkan BPPN untuk melunasi utang BLBI Bank BDNI. Lehman Brothers, sebagai penilai independen saat itu menyebut Dipasena memiliki valuasi sebesar Rp 19 Triliun.
“Itu wajar dong, nilai ekspor pertahun Dipasena saja sebesar Rp 3 trilyun.
Kalau sekarang ditanyakan kepada petambak. Apakah mereka pernah mendapat kucuran kredit ya pasti mengelak semua, karena memang diberikan dalam bentuk ifrastruktur, hingga bibit, petambak hanya mengolah saja." tuturnya
Ketika Kwik Kian Gie menjadi Menteri Perekonomian pada tahun 1999-2000, ada keinginan untuk merubah perjanjian MSAA. Berdasarkan keputusan KKSK, KEP. 20//M.EKUIN/04/2000. Dalam keputusan tersebut dikatakan utang petani tambak, ditetapkan maksimal Rp 135 juta atau total, 1,3 trilyun dari total 4,8 trilyun. Utang 3,7 trilyun dialihkan dan ditagihkan kepada pemegang saham Dipasena dan Wachyuni Mandira.
Ketika Kwik berhenti mengundurkan diri, Menko Perekonomian dijabat oleh Rizal Ramli. Selaku ketua KKSK, Rizal Ramli mengeluarkan putusan yang menganulir Kwik Kian Gie. Melalui keputusan KKSK No : KEP.02/K.KKSK/03/2001, mengatakan utang petani tambak ditetapkan maksimal Rp 100 juta, jadi total 1,1 Trilyun. Utang Dipasena ditetapkan 1,9 Trilyun dengan menggunakan kurs dollar USD 1= Rp 7000, tidak dialihkan kepada pemegang saham, sebagaimana yang telah diputuskan KKSK sebelumnya.
Era pemerintahan berganti, Rizal Ramli diganti oleh Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, selaku Menteri Perekonomian sekaligus ketua KKSK. Pada tanggal 13 Februari 2004, KKSK mengeluarkan Keputusan No KEP.02/K.KKSK/02/2004, dalam putusan tersebut dikatakan, nilai utang petani tambak maksimal sebesar Rp 100 juta atau total Rp 1,1 Trilyun. Dengan penetapan nilai utang maksimal maka dilakukan penghapusan atas sebagian utang pokok secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga dan denda.
Penanganan selanjutnya terhadap kewajiban para petambak plasma Dipasena termasuk apabila dilakukan melalui mekanisme penjualan, dilakukan oleh lembaga yang menerima pengalihan hak tagih BPPN. Dan adanya keputusan tersebut, maka keputusan KKSK sebelumnya, yakni KEP. 20/M.EKUIN/04/2000 dan KEP. 2/K/KKSK/03/2001 dinyatakan tidak berlaku. Ketika BPPN ditutup oleh pemerintah, maka penanganan Dipasena kemudian diserahkan kepada Kementerian Keuangan, termasuk hak tagih Dipasena. Lantas dimana ada kerugian negara, aset diserahkan kepada ke kementerian keuangan, karena tugas BPPN berakhir.