Minggu, 04 Juni 2017 12:29 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Menanggapi pemanggilan Sjamsul Nursalim oleh KPK, Maqdir Ismail selaku kuasa hukumnya mengatakan bahwa kliennya sudah menyelesaikan kewajiban pembayaran BLBI dengan menyerahkan aset aset yang dimiliki melalui skema perjanjian MSAA (Master Settlement And Acquisition Agreement).
"MSAA diberlakukan bagi pemegang saham yang menyerahkan aset dan dinyatakan nilainya cukup untuk melunasi kewajibannya," jelas Maqdir Ismail di Jakarta, Minggu (4/6/2017).
Perjanjian MSAA BDNI itu sendiri selesai ditanda tangani pada tanggal 25 Mei 1999. Karena itu, Maqdir heran jika KPK kembali membuka kasus tersebut. Menurut Maqdir Ismail, dengan menandatangani MSAA, maka pihaknya sudah menyelesaikan kewajiban mengembalikan dana BLBI.
"Klien kami memilih MSAA karena kooperatif, tapi kenapa terus dipersoalkan, padahal masih banyak obligor obligor BLBI yang tidak kooperatif, tidak mau mengembalikan dana BLBI, namun dibiarkan", jelas Maqdir.
Menurut Maqdir, perjanjian MSAA diputuskan di tahun 1998 sebagai salah satu jalan tengah di tengah krisis ekonomi. Pemerintah yang membutuhkan percepatan pemulihan ekonomi mengesampingkan langkah hukum. Pemidanaan dianggap bukan langkah tepat karena hanya akan memenjarakan orang sementara aset-aset dan harta benda dari pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa tak kembali, sehingga ekonomi akan mandeg.
Karenanya, butuh terobosoan yang bersifat perdata, berupa perjanjian pengembalian aset dalam program Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) di bulan September 1998.
"Para obligor merasa perlu kepastian hukum tidak dikejar oleh aparat hukum jika rezim pemerintahan berganti, mata dikeluarkanlah oleh pemerintah saat itu release and discharge", tegas Maqdir.
Dalam kasus Sjamsul Nursalim di Bank BDNI, sudah dikeluarkan release and discharge pada tanggal 25 Mei 1999.
"Kemudian pada tahun 2002, berdasarkan UU Propenas, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002, yang menjadi dasar penerbitan SKL oleh BPPN. SKL ini pun hanya menyempurnaan dari release and discharge yang sudah keluar tahun 1999," ucap Maqdir Ismail.
"Dalam hukum, persoalan perdata itu harus diselesaikan dulu perdatanya, istilahnya prejudiciel geschill bukan langsung mempidanakan. Saya pernah sampaikan, menyangkut masalah yang terkait pasal 81 KUHP, memberi kewenangan kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu petusan hakim perdata mengenai persengketaan. Hal ini sudah diatur di dalam surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 1980," Sambungnya
Bahkan, menurut Maqdir, sekitar bulan Oktober 1998 pemerintah sudah melaporkan kepada International Monetery Fund (IMF) di mana Indonesia terikat dengan Letter of Intents (LOI) yang mengatakan pemerintah bersepakat untuk menyelesaikan kewajiban para obligor BLBI di bawah Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN) dengan penyelesaian secara perdata. Ini pun sudah disetujui oleh IMF.
Dalam situasi negara atau pemerintah sudah menundukan diri secara perdata berupa MSAA, maka pemerintah dan warga negara harus tunduk untuk saling mematuhinya.
"Jika ingin mengubahnya, maka batalkan dulu keputusan politiknya dan yang bisa membatalkan MSAA hanya lewat putusan pengadilan atau melalui lembaga arbitrase, karena sudah berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Jadi tidak bisa serampangan karena kedua pihak terikat dalam perjanjian MSAA," tegas Maqdir Ismail.
"Jadi dimana kerugian negara atas terbitnya SKL? BPPN bekerja seabagai eksekutor keputusan KKSK dibawah koordinasi Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menteri BUMN. Saat itu mereka kompak hingga terbitnya SKL penyempurnaan terhadap BDNI pada tahun 2004," tambahnya.
Sesuai perintah KKSK, ketika BPPN dibubarkan, piutang Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun, oleh BPPN diberikan kepada Divisi PPA Kementerian Keuangan. "Lalu dimana kerugian negaranya, duitnya masih ada dan hak tagihnya sudah di kementerian keuangan, jadi tidak ada hubungannya juga dengan ketua BPPN," pungkas Maqdir.