Jumat, 19 Mei 2017 12:02 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dalam penyidikan tindak pidana korupsi memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek e-KTP.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Miryam sendiri sudah mendatangi gedung KPK pada pukul 10.50 WIB untuk menjalani pemeriksaan.
Saat ini, Miryam juga sedang menjalani proses permohonan praperadilan yang diajukannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Aga Khan, anggota tim kuasa hukum Miryam menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya itu tidak sesuai prosedur.
"Telah terbukti tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka dengan dugaan memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo. Pasal 35 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan ketentuan Hukum Acara yang berlaku," kata Aga Khan, anggota kuasa hukum Miryam saat membacakan surat permohonan praperadilan itu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/5/2017).
Oleh karena itu, kata dia, penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SprinDik28/01/04/2017 tanggal 5 April 2017 yang diterbitkan termohon patut untuk dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan bahwa Jika alasan yang digunakan adalah KPK tidak berwenang menggunakan Pasal 22 jo Pasal 35 UU Tindak Pisana Korupsi dan dikatakan KPK tidak pernah menggunakan pasal tersebut itu tentu keliru.
Febri menyatakan bahwa KPK juga pernah menerapkan pasal tersebut pada Muhtar Ependi, orang dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sampai Mahkamah Agung menjatuhi vonis bersalah terhadap Muhtar pada sekitar akhir 2015.
"Sebelumnya KPK menerapkan Pasal 22 jo Pasal 35 juga dalam dakwaan dan terdakwa dinyatakan bersalah sampai berkekuatan hukum tetap. Terdakwa divonis tujuh tahun, denda 200 juta, dan pencabutan hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat," kata Febri.
KPK menetapkan Miryam S Haryani sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Dalam persidangan pada Kamis (23/3/2017) di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek e-KTP.
"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.
Terkait hal itu, Miryam dalam persidangan juga menyatakan akan mencabut BAP atas pemeriksaan dirinya.
Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek e-KTP sebesar Rp5,95 triliun tersebut.
sumber: antara