Selasa, 25 April 2017 13:01 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan pertimbangan reshuffle kabinet sejatinya harus dilandasi enam poin penting.
"Pertama, menteri ke depan (sisa masa jabatan pemerintahan) harus lebih loyal kepada Presiden daripada ke partai. Sebab, sangat-sangat merugikan pemerintahan bila seorang menteri memiliki dua 'majikan'," ujar Emrus Sihombing saat dihubungi, Selasa (25/4/2017).
Kedua, menteri akan "running" pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Sebab, bila tidak di-"reshuffle", jabatan menteri berpeluang "dimanfaatkan" kepentingan politik pemilu.
"Ketiga, menteri yang terkait yang tidak mampu mengelola dan mengendalikan isu-isu 'miring' yang kontra produktif di ruang publik. Fakta menunjukkan sampai saat ini, masih banyaknya wacana di sosial media yang mempertajam perbedaan dari segi SARA," ucapnya.
Sebab, wacana tidak produktif ini berpotensi besar mengganggu pluralisme di Tanah Air, dan bisa berkembang menjadi ancaman potensial keutuhan NKRI serta kenyamanan di tengah masyarakat.
Keempat, lanjutnya, terkait dengan yang ketiga, perlu dipercepat pembentukan Lembaga Pemantapan Nilai-nilai Pancasila berada di bawah Presiden menangani wacana miring di ruang publik, seperti termuat pada point tiga.
"Kelima, menteri berpeluang mengundurkan diri menjelang Pilpres 2019. Utamanya mereka yang dari partai politik, bukan pengusung pada Pilpres 2014," ujarnya.
Sebab, menteri mengundurkan diri tersebut sangat mengganggu kinerja pemerintahan pada sisa masa kerja, dan sekaligus berpeluang dimaknai sebagai upaya "penggembosan".
"Keenam, selain lima point di atas, saya berpendapat, sebaiknya Presiden melakukan konsolidasi dengan partai yang mengusungnya pada Pilpres 2014 dalam melakukan 'reshuffle'," imbuhnya.
Sebab, para partai pengusung lebih setia, bertanggung jawab dan turut memikul beban bila mana pemerintahan Jokowi-JK tidak optimal merealisasikan janji politik yaitu Nawacita dan Revolusi Mental.