Senin, 17 April 2017 14:31 WIB

Marisi Matondang Siap Buka Peran Nazaruddin

Editor : Sandi T
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin. (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang, anak buah mantan terpidana kasus korupsi M Nazaruddin mengatakan akan membuka peran Nazaruddin dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Khusus Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009.

"Saya ucapkan banyak terima kasih kepada pimpinan KPK, penyidik, dan JPU untuk kasus Udayana. Nanti di persidangan akan saya buka terang benderang peran Pak Nazaruddin beserta keluarganya semua," kata Marisi di gedung KPK, Jakarta, Senin (17/4/2017).

Ia pun menyatakan juga terdapat aliran dana ke Nazaruddin beserta keluarganya itu dalam kasus di Universitas Udayana tersebut.

"Ya ke Pak Nazaruddin semuanya beserta keluarganya," kata Marisi.

Marisi juga menyatakan akan membuka di persidangan terkait nama-nama keluarga Nazaruddin yang menerima aliran dana tersebut.

"Nanti disebut di persidangan," ucap Marisi.

Sebelumnya, KPK telah menahan Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang (MSM), yang juga anak buah mantan terpidana kasus korupsi M. Nazaruddin, dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Khusus Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009.

"Penahanan terhadap Marisi Matondang dilakukan untuk 20 hari pertama di rumah tahanan negara Kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (2/3/2017).

Menurut Febri, kasus Marisi Matondang merupakan kasus lama yang ditangani KPK karena penetapan tersangka dilakukan sejak Desember 2014.

"Seperti yang pernah kami sampaikan di awal 2017 ini, KPK akan menyisir satu persatu perkara lama yang masih proses dan belum selesai. Kami akan tuntaskan satu persatu perkara tersebut dan salah satunya hari ini, kami lakukan penahanan lebih lanjut untuk Marisi Matondang," tuturnya.

Febri menyatakan tersangka Marisi Matondang sudah pernah diperiksa empat kali sebelumnya dan ada 16 saksi yang diperiksa.

"Ini perkara lama yang masih terkait dengan sejumlah kasus korupsi Grup Permai. Ada M. Nazaruddin di sana sebagai pemilik dari Grup Permai tersebut. Dan, di tahun ini kami akan menuntaskan beberapa perkara lama. Baik perkara ini maupun perkara Hambalang yang sudah kami lakukan penahanan terhadap tersangkanya," ucap Febri.

Sebagai pengingat, menurut dia, nilai proyek dalam perkara Marisi Matondang adalah Rp16 miliar dan indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp7 miliar.

"Sebelumnya sudah ada terdakwa yang divonis bersalah, yaitu Made Meregawa selaku pejabat pembuat komitmen divonis empat tahun penjara dan denda Rp100 juta," kata Febri.

Marisi dan Made adalah tersangka dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Khusus Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009.

Made adalah Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek tersebut. Adapun Marisi Matondang adalah direktur PT Mahkota Negara.

PT Mahkota Negara adalah perusahaan pemenang tender Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang terbukti terjadi tindak pidana korupsi hingga menyeret Neneng Sri Wahyuni, yaitu istri Nazaruddin yang sudah menjadi narapidana kasus Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

PT Mahkota Nusantara pernah dimiliki kakak-adik Nasir dan Nazaruddin hingga 2009. Selain terlibat dalam proyek PLTS, PT Mahkota juga mendapat bagian pengadaan alat laboratorium multimedia serta alat laboratorium informasi, komunikasi, dan teknologi 2007 di Kementerian Pendidikan Nasional dengan nilai proyek Rp40 miliar.

Kedua tersangka disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK menduga ada pemufakatan dan rekayasa dalam proses pengadaan yang kemudian diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp7 miliar.

Proyek tersebut bersifat tahun jamak, yaitu pada 2009-2011 dengan total anggaran sebesar Rp16 miliar. Sedangkan, kasus yang diselidiki dan disidik KPK adalah pengadaan 2009.

sumber: antara


0 Komentar