Kamis, 30 Maret 2017 15:43 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pengadilan tindak pidana korupsi dalam sidang e-KTP menyuguhkan perdebatan antara penyidik KPK, Novel Baaswedan dan mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani soal tekanan yang dihadapi Miryam saat pemeriksaan di KPK.
"Waktu pemeriksaan pertama itu 1 Desember 2016, itu pas ulang tahun saya. Jadi kurang tidur, terus dapat panggilan dan kondisi saya secara fisik sedang datang bulan," kata Miryam dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis(30/3/2017).
"Dengan kondisi kurang tidur dan datang bulan, saya tiba pukul 10.00, saya diperiksa dari pukul 10.00 sampai pukul 20.00 di ruangan ukuran 2x2 meter," sambungnya.
Menurut pengakuan Miryam, pada saat awal pemeriksaan penyidik KPK Novel Baswedan sudah melakukan tekanan terhadap dirinya.
"Ibu Yani sebetulnya tahun 2010 mau ditangkap, itu yang bicara Pak Novel, jadi belum bicara apa-apa sudah begitu, jadi saya langsung drop banget, kepala saya pusing dan tidak nyaman karena ruangan kecil, saya tertekan dengan kata-kata itu," cetusnya.
Tak hanya itu, lanjut Miryam, ia mengaku diperiksa penyidik KPK di ruangan kecil berukuran 2x2 meter.
"Waktu pemeriksaan kedua, saya masih trauma dari pemeriksaan awal, kebetulan datang bulan saya juga belum sembuh lalu saya diperiksa di ruang ukuran 2x2 tidak nyaman dari pagi sampai magrib sering ditinggal, dikasih makan tapi ditinggal lagi dan tidak memberitahukan jam berapa kembali," tambah Miryam.
Sedangkan dalam pemeriksaan ketiga, Miryam mengaku meminta agar pemeriksaannya tidak memakan waktu lama karena ia mendapat telepon kalau ibunya sakit parah sehingga ia tidak fokus bersaksi. Miryam diperiksa secara runut pada 1 Desember 2016, 7 Desember 2016 hingga 24 Januari 2017.
"Pemeriksaan keempat saya dibikin mabok, pertama Pak Novel yang periksa, mungkin Pak Novel habis makan durian lalu saya lari ke lorong itu, saya muntah mual, saya pusing minta ampun, saya lari di ruang lorong kecil lalu Pak Novel lihat tapi dia meninggalkan saya di lorong padahal saya mual-mual dan kondisi saya tertekan dari proses pertama, kedua, ketiga, keempat jadi gak fokus dan penyidik banyak arahkan saya dan dalam BAP," ungkap Miryam.
Menurut Miriam, ia diminta untuk menulis tangan sesuai dengan salinan kertas yang diberikan penyidik.
"Itu mereka ketik sudah jadi, lalu saya tulis-tulis karena saya trauma tertekan, saya ingin menyenangkan mereka saja supaya cepat keluar dari ruangan," tambah Miryam.
Namun semua hal yang disampaikan Miryam itu dibantah oleh Novel Baswedan.
"Yang disampaikan saksi tadi menurut saya bohong, saya sampaikan beberapa hal, yang bersangkutan diperiksa pertama di lantai 4 gedung C1 KPK, itu bukan ruangan 2x2 meter tapi ruangan besar, memang ada ruangan yang kecil untuk pemeriksaan selanjutnya, tapi bukan di ruangan kecil, jadi saya pastikan tidak benar dan ruangan sudah sebagaimana mestinya," kata Novel.
Sedangkan soal bau duren dan Miryam yang muntah, Novel hanya mengaku bahwa ia makan kue duren setelah selesai pemeriksaan.
"Pada pemeriksaan terakhir bulan januari, seingat saya tanggal 24, yang bersangkutan telah selesai diperiksa lalu saya berikan BAP ke yang bersangkutan untuk dikoreksi. Saya kembali ke meja kerja saya dan di sana saya makan kue yang isinya durian. Saya tidak tahu yang bersangkutan mabuk durian karena saya rasa baunya tidak menyengat karena di KPK tidak boleh bawa durian, dan rekan saya yang memberikan tapi pemeriksaan sudah selesai jadi mengganggu memang iya tapi tidak ada korelasi dengan keterangan yang bersangkutan," tambah Novel.
Novel juga mengaku bahwa Miryam lalu dipersilakan keluar ruangan tapi bukan lorong sempit melainkan ruangan besar untuk mencetak (print).
"Saya pastikan tidak ada muntah, karena kalau muntah akan kelihatan dan akan dipanggil dokter," ungkap Novel.
Novel juga membantah ada pengarahan dalam membuat BAP Miryam.
"Untuk membaca kami berikan waktu seandainya tidak fit pada pemeriksaan kedua, pada awal BAP pertama dibaca ulang kalau yang pertama tidak fit pada awal pemeriksaan kedua yang bersangkutan membaca dan mengoreksi kembali, jadi bisa teratasi dengan pemeriksaan kedua dan tidak ada jawaban yang dituntun penyidik," tegas Novel.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,314 triliun dari total anggaran Rp 5,95 triliun.
sumber: antara