Kamis, 30 Maret 2017 12:19 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Penyidik KPK, Novel Baswedan menjelaskan bahwa anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR sebelum diperiksa di KPK.
"Yang bersangkutan bercerita karena sebulan sebelum pemanggilan sudah merasa mengetahui akan dipanggil dari rekan anggota DPR lain, disuruh beberapa anggota DPR lain dari Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang itu bahkan yang bersangkutan mengaku kalau mengaku bisa dijeblosin," kata Novel dalam sidang lanjutan e-KTP di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Miryam menjadi saksi bersama dengan tiga orang penyidik KPK yaitu Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan M Irwan Santoso dalam sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan e-KTP.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang dilupakan Novel namanya.
"Pada saat itu yang disebut adalah Azis Syamsuddin, Desmond Mahesa, Masinton Pasaribu, seingat saya atas nama Sarifuddin Suding, satu lagi saya lupa tapi bu Miryam menyebut partainya dan minta penyidik membuka internet siapa anggota Komisi III dari partai ini lalu dia bilang yang ini orangnya tapi saya lupa namanya," ungkap Novel.
Novel pun mengaku bahwa Miryam yang dalam dakwaan disebut menerima 23 ribu dolar AS itu tidak pernah menerima uang.
"Di pemeriksa terakhir, saya periksa yang bersangkutan, bahwa terkait uang yang diterima untuk semakin perjelas sikap kooperatif dan kewajiban segera dikembalikan, tapi yang bersangkutan mengatakan 'Kalau dikembalikan habis saya dengan kawan-kawan di DPR'. Tapi saya katakan tidak perlu khawatir menyampaikan kebenaran, bahkan ada kemungkinan penyidik minta barang atau kepemilikan yang dimiliki kalau tetap tidak mau kembalikan tapi yang bersangkutan mengatakan bukan tidak mau mengembalikan tapi tunggu anggota DPR lain mengembalikan, saya pahami itu khawatir," tambah Novel.
Novel juga menyatakan pernah menawarkan mekanisme perlindungan saksi bagi Miryam.
"Kami tawari di KPK ada mekanisme perlindungan, tapi yang bersangkutan tidak mau dan kami takut yang bersangkutan diancam lagi, saya berikan nomor telepon agar sewaktu-waktu merasa terancam bisa menghubungi, tapi dia tidak mau," jelas Novel.
Sehingga dalam pemeriksaan itu menurut Novel, Miryam menerangkan bahwa ia pernah menerima uang dari Sugiharto dan berkomunikasi dengan Irman.
"Setelah menerima uang, saksi melaporkan ke pimpinan komisi ketua dan wakil, ketuanya pak Chaeruman yang menyuruh untuk mengambil uang juga Chaeruman dan pembagian yang bersangkutan perlu mendapat kepastian berapa uang yang perlu dibagi dan tentu beda ketua, wakil ketua, kapoksi dan anggota. Hal ini yang dia ingin dapat kepastian pimpinan komisi dua, dia juga pernah tanya misalnya apakah Pak Ganjar tahu? Dia bilang pasti tahu jadi pertemukan dengan Pak Ganjar, tapi yang bersangkutan mengaku takut bertemu Pak Ganjar," tegas Novel.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Miryam mendapat uang dari Sugiharto dan membagikan kepada empat orang pimpinan komisi II DPR Chaeruman, Ganjar, Teguh, Taufik Effendi masing-masing 25 ribu dolar AS, 9 kapoksi masing-masing 14 ribu dolar AS termasuk ketua kelompok fraksi (kapoksi) merangkap pimpinan komisi, 50 anggota Komisi II DPR masing-masing 8 ribu dolar AS termasuk pimpinan komisi dan Kapoksi.
Dalam sidang pada 22 Maret 2017 lalu, Miryam mengaku ditekan oleh penyidik KPK saat diperiksa ditahap penyidikan.
"BAP (Berita Acara Pemeriksaan) isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik. Satu namaya Pak Novel, Pak Damanik, satunya saya lupa. Baru duduk sudah ngomong 'ibu tahun 2010 mestinya saya sudah tangkap', kata Pak Novel begitu. Saya takut. Saya ditekan, tertekan sekali waktu saya diperiksa," ungkap Miryam pada Rabu (22/3/2017).
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,314 triliun dari total anggaran Rp 5,95 triliun.