Laporan: Arif Muhammad RiyanJAKARTA, Tigapilarnews.com - Pihak kepolisian memeriksa tersangka dugaan makar, Rachmawati. Pemeriksaan dilakukan di kediamannya, di Jalan Jati Padang Raya No 54, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2016) kemarin.Juru bicara Rachmawati, Teguh Santosa Mengatakan, pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan tambahan."Kali ini Rachma diperiksa selama tujuh jam, dari pukul 15.00 WIB hingga 22.00 WIB. Kepada Rachma polisi mengajukan 21 pertanyaan yang sebagian besar bernada pengulangan atas pertanyaan yang sudah diajukan pada pemeriksaan sebelumnya," ucapnya saat dikonfirmasi, Rabu (4/1/2017).Dikatakan Teguh, dalam pemeriksaan, anak dari Presiden kedua Soekarno itu mengatakan, bahwa makar adalah tindakan kekerasan oleh kelompok bersenjata untuk menggulingkan pemerintah dalam hal ini presiden dan yang menjadi sasaran adalah Istana Negara yang dalam pasal 4 konstitusi kita disebutkan sebagai pusat pemerintahan.Selain itu, lanjutnya, Rachma juga kembali mengatakan bahwa dirinya telah berkomunikasi beberapa kali dengan pimpinan MPR RI mengenai aspirasi kembali ke UUD 1945 yang asli."Pertemuan pertama Rachma dengan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan terjadi pada tanggal 15 Desember 2015 di Gedung MPR RI. Pimpinan MPR RI menyambut baik aspirasi itu dan mengundang sebanyak mungkin anggota masyarakat yang memiliki aspirasi serupa," katanya."Menurut rencana, Rachmawati dan kelompoknya yang tergabung dalam Gerakan Selamatkan NKRI dibantu Gerbang Nusantara akan menyampakkan aspirasi kembali ke UUD 1945 yang asli di luar gerbang Gedung MPR RI, dan aspirasi itu akan diterima oleh unsur pimpinan MPR RI. Untuk urusan teknis penyerahan aspirasi, Rachma berkomunikasi langsung dengan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan," sambungnya.Lebih lanjut, Teguh mengatakan, pada pemeriksaan tambahan Rachma kemarin, kliennya kembali menyampaikan keberatan atas tuduhan makar yang disangkakan kepada dirinya."Bagaimana mungkin keinginan menyampaikan aspirasi dan pendapat ke gedung wakil rakyat disamakan dengan makar dan upaya perebutan kekuasaan? Ini definisi yang berlebihan dan sama sekali tidak sehat untuk demokrasi kita," pungkas Teguh.