Jumat, 23 September 2016 13:13 WIB

Google Tak Bayar Pajak, Masyarakat Diminta Membuat Konten untuk Kepentingan Nasional‎

Editor : RB Siregar
JAKARTA, Tigapilarnews.com – Google, Facebook, Yahoo, Twitter dan lainnya dituntut membayar pajak dan royalti konten. Indonesia menjadi lahan besar bagi Google untuk mencari keuntungan triliunan rupiah, terutama dari iklan. Namun, Google tidak ada pajak untuk transaksi yang dilakukan di Tanah Air.

Siaran Pers yang diterima Redaksi Tigapilarnews.com mengungkapkan alasannya, yakni Google Indonesia hanya beroperasi sebagai kantor perwakilan, bukan Badan Usaha Tetap (BUT). Hal itu menjadi pembicaraan serius dalam diskusi terbatas dengan tema, "Kewajiban Pajak dan Filter Konten Bagi Raksasa Digital, Serta Literasi Digital Untuk Kepentingan Nasional Indonesia" yang diadakan Institut Media Sosial dan Diplomasi, Komunikonten di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jalan Kembang Raya No. 6, Jakarta Pusat, Kamis (23/9/2016) sore.

Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria mengatakan, ‎saat ini memang terjadi persaingan usaha yang tidak sehat. Di Indonesia seperti Tribun News, Merdeka, Berita Satu, Kompas online, Sindo online, Republika online, Tempo online, Detik.com, Okezone, Viva, dan portal berita yang lain membayar pajak, namun mesin pencari seperti Google tidak kena pajak.

Google dan search engine lainnya dalam kinerjanya bergantung dari konten yang tersedia di situs-situs, termasuk portal berita.

"Kita harus memahami bahwa google itu bukan sosial murni tapi juga bagian dari bisnis. Sebab data pengguna dan apa yang dilakukan pengguna direkam langsung oleh mereka," ujar Hariqo.

Sementara itu, ‎ Agus Sudibyo, Mantan Anggota Dewan Pers, Kaprodi Komunikasi Massa di Akademi Televisi Indonesia, yang menjadi pemateri dalam acara tersebut mengatakan, di era teknologi informasi ini Google sebagai raksasa digital punya kemampuan cukup tinggi untuk menguasai data yang bersifat rahasia.

Juga, banyak masyarakat yang masih awam memahami cara kerja Google. Meski dianggap banyak memberikan manfaat, namun ‎diantara proses mengkapitalisasikan diantaranya bisa dengan mengolah banyak data yang ada diinternet untuk memahami kecenderungan masyarakat.

"Ini yang kemudian dijadikan alat tawar dengan pemasang iklan. Akhirnya muncul iklan-iklan yang tidak diundang ke ruang-ruang pribadi kita. Nah, jika iklan di televisi, radio, koran, media online ada yang mengawasi, sedangkan iklan-iklan digital ini tidak," terang Agus.

Pada kesempatan tersebut, narasumber yang lain, Akhyari Haryanto, founder Good News From Indonesia menegaskan, pengakses internet di Indonesia cukup tinggi dan trafiknya terus naik setiap harinya.

Terlebih didukung oleh smartphone yang memudahkan pengguna mengakses internet. Fleksibilitas akses inilah sehingga internet saat ini menjadi jalan bagi tersendiri dalm setiap model informasi baik teks, audio hingga video. Baik informasi live maupun tidak.

Berbicara literasi digital, ‎Direktur Eksekutif Komunikonten meminta penyedia layanan over the top melakukan filter konten, agar tidak ada muatan yang bertentangan dengan Pancasila, UU 1945, atau muatan lain yang mengancam kerusuhan di Indonesia, dan mengancam keutuhan NKRI. Pasalnya, konten itu akan menambah merugikan Indonesia.

"Ini bisa jadi merugikan bagi kita sendiri. Kenapa, karena di saat Google tidak mau membayar pajak kepada negara. Justru konten negatif tentang Indonesia bisa di konsumsi oleh mereka untuk ‎kepentingan lain," tuturnya.

Hariqo menambahkan, persoalan ini harus dicermati agar masyarakat bisa menyadari bahwa media sosial harus bisa digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan nasional. Pasalnya, dengan banyaknya orang yang membuat konten yang positif maka secara tidak langsung negara akan diuntungkan. ‎

‎"Semakin banyak konten positif yang diupload di internet menunjukan semakin kreatif suatu bangsa. Karenanya generasi muda Indonesia tidak boleh hanya sekadar bisa copy-paste, downloader, tapi juga uploader," jelasnya.(i)
0 Komentar