Jakarta, TIGAPILARNEWS.COM- Pengacara Christian Malonda yang mewakili Zulkarnaen Apriliantony (ZA) dan Adriana Angela Brigita (AAB) dalam kasus dugaan perlindungan situs judi online (judol) di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), kembali menyuarakan kritik tajam terhadap tuntutan jaksa.
ZA dituntut 9 tahun penjara berdasarkan Pasal 303 KUHP tentang perjudian dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, yang melarang pendistribusian informasi elektronik bermuatan perjudian.
Sementara AAB, istri ZA, dituntut 10 tahun penjara atas tuduhan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Malonda menegaskan bahwa tuntutan ini mengabaikan fakta persidangan yang menunjukkan keterlibatan minimal kliennya.
"ZA tidak pernah mengenal atau sama sekali tidak mengenal bandar atau agen judi online, dan Menteri Budi Arie Setiadi pun tidak mengetahui kegiatan penjagaan situs judol tersebut. Ia hanya diperkenalkan dengan Muhrijan alias Agus melalui Adhi Kismanto dan menerima aliran dana tanpa mengetahui teknis operasionalnya," ujar Malonda.
Untuk AAB, fakta persidangan mengungkap bahwa ia hanya disuruh suaminya mengantar barang yang diklaim sebagai alat studio, tanpa menyadari hal lainnya.
Pengacara ini juga menyoroti kejanggalan prosedural, di mana surat P19 dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta penyidik memeriksa Budi Arie Setiadi, tetapi pemeriksaan tersebut tidak pernah dilakukan. Meski demikian, berkas perkara tetap dinyatakan lengkap (P21) dan dilimpahkan ke pengadilan.
"Apakah boleh berkas belum lengkap tapi dipaksa lengkap oleh jaksa? Ini melanggar Pasal 110 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mewajibkan penyidikan lengkap sebelum pelimpahan. Fakta persidangan sama sekali tidak dihiraukan jaksa," tegas Malonda.
Dari perspektif dasar hukum, Malonda menjelaskan bahwa tuntutan terhadap ZA berdasarkan Pasal 303 ayat (1) KUHP—yang mengancam pidana maksimal 10 tahun bagi pengada perjudian—dan Pasal 27 ayat (2) UU ITE, yang menghukum pidana maksimal 6 tahun atau denda Rp1 miliar bagi pelaku pendistribusian konten perjudian elektronik, tidak tepat karena tidak ada bukti mens rea (niat jahat).
"Pasal-pasal ini mensyaratkan pengetahuan dan kesengajaan, tapi fakta menunjukkan ZA hanya penerima dana pasif, bukan pelaku aktif," argumennya, merujuk pada prinsip bukti dalam Pasal 184 KUHAP yang mengharuskan alat bukti saling mendukung.
Untuk AAB, tuntutan TPPU berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 4 UU TPPU—yang mengancam pidana hingga 20 tahun atas penyamaran asal-usul harta kekayaan ilegal—dianggap tidak berdasar karena ia tidak mengetahui sumber dana tersebut. "Ini bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah dalam Pasal 8 ayat (1) KUHAP. AAB hanya korban instruksi suami, tanpa pengetahuan atas kegiatan judol," tambah Malonda, menyoroti bahwa fakta persidangan membuktikan ketidaktahuan ini.
Malonda menutup pernyataannya dengan nada kritis: "Apakah hukum kita seperti ini, menuntut tanpa mempertimbangkan fakta-fakta yang ada di persidangan? Kalau begitu, buat apa ada sidang?."
Pernyataan ini mencerminkan kegeraman atas integritas proses hukum dalam kasus yang melibatkan klaster koordinator dan TPPU judol Kominfo, di mana aliran dana mencapai miliaran rupiah namun bukti keterlibatan kliennya dianggap lemah.(des)