Senin, 02 September 2024 14:19 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas menilai wacana penetapan tarif KRL berbasis NIK sebagai bentuk kemunduran pembenahan sistem transportasi umum di Indonesia. Sebab, hal tersebut tidak selaras dengan cita-cita penurunan emisi karbon serta mengatasi kemacetan dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.
"Saya pribadi, lebih suka dan lebih mendukung subsidi transportasi daripada subsidi tepat sasaran. Karena jauh lebih banyak keuntungannya dibandingkan subsidi tepat sasaran," ujarnya saat dihubungi.
Darmaningtyas menjelaskan, keuntungan subsidi tepat sasaran itu hanya dirasakan oleh golongan tidak mampu saja. Sedangkan subsidi transportasi keuntungannya dapat dinikmati oleh semua warga yang menggunakan angkutan umum, polusi udara juga dapat dikurangi karena berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke KRL.
"Kemacetan wilayah Jabodetabek juga dapat dikurangi karena sebagian motor dan mobil parkir di stasiun dan penggunanya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan KRL. Anggaran negara mungkin juga bisa dihemat karena subsidi untuk BBM bisa ditekan," kata Darmaningtyas.
"Sungguh Langkah mundur dan tidak punya visi yang jelas bila pemerintah akan memberikan subsidi (harga khusus BBM bagi Ojol), tapi akan menerapkan subsidi tepat sasaran untuk pengguna moda kereta api perkotaan," tambahnya.
Darmaningtyas menegaskan, jika Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan hendak mengurangi anggaran PSO untuk KRL agar tidak bebenani ruang fiskal, maka bisa untuk melakukan penyesuain tarif KRL yang belum pernah naik sejak tahun 2016 lalu.
Sehingga dengan menyesuaikan tarif KRL secepatnya akan berdampak pada pengurangan subsidi dan menjaga layanan KRL menjadi lebih baik karena perusahaan memiliki cashflow yang cukup untuk beroperasi setiap harinya.
Menurutnya, DJKA (Direktorat Jenderal Perkeretaapian) Kementerian Perhubungan sebelumnya juga sudah membuat perhitungan mengenai besarnya subsidi yang akan dapat dihemat dengan penyesuaian tarif Rp2.000,- saja pada 15 km pertama saja.
"Kalau orang naik KRL sepanjang 15 km dan membayar Rp5.000, itu masih amat terjangkau. Yang betul-betul tidak mampu, baru mengajukan permohonan keringanan, dan saat itulah penggunaan NIK baru relevan. Tapi kalau penggunaan NIK untuk semua pengguna KRL Jabodetabek dan layanan KCI lainnya jelas tidak tepat," pungkasnya.(des)