Rabu, 07 Agustus 2024 10:54 WIB

Fenomena Calon Tunggal: Tanda Matinya Demokrasi

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi. (foto istimewa)

Jakarta, Tigapilarnews.com- Demokrasi sejatinya adalah sistem yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintahan. Salah satu manifestasi dari demokrasi adalah melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang seharusnya menawarkan pilihan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. 

Namun, dikatakan Antonius Benny Susetyo Pakar Komunikasi Politik, fenomena calon tunggal dalam Pilkada belakangan ini menjadi sorotan lantaran mengancam esensi dari demokrasi itu sendiri. 

Menurutnya lagi, implikasi dari fenomena ini tidak hanya memengaruhi kualitas demokrasi, tetapi juga kemampuan pemerintah dalam merespons masalah-masalah lokal secara efektif.

"Fenomena calon tunggal dalam Pilkada adalah sinyal berbahaya dari matinya demokrasi. Ketika hanya ada satu calon yang tersedia, proses pemilihan menjadi sekadar formalitas, menghilangkan kebebasan memilih yang merupakan hak dasar setiap warga negara," katanya.

"Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, di mana seharusnya ada ruang bagi berbagai ide, visi, dan solusi untuk bersaing secara sehat demi kebaikan bersama. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menawarkan alternatif pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk berpihak kepada kepentingan publik," sambungnya.

Ketika hanya ada satu calon, pemimpin yang terpilih sering kali hanyalah karbitan, yang tidak memiliki akar pada hak-hak dan persoalan yang dihadapi masyarakat.

Kondisi ini sangat berbahaya jika dipaksakan, karena pemerintahan yang dihasilkan tidak akan efektif dalam merespons persoalan-persoalan publik. 

"Pemimpin yang dipilih tanpa adanya kompetisi yang sehat cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, mereka lebih cenderung mengutamakan kepentingan kelompok atau individu tertentu yang mendukung pencalonan mereka," sambungnya.

Lebih dalam lagi, calon tunggal mencerminkan adanya masalah struktural yang mendalam dalam sistem politik kita. "Ini bisa jadi merupakan hasil dari dominasi kekuasaan oleh segelintir elit politik yang berupaya mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara, termasuk dengan menghalangi munculnya calon-calon alternatif. Jika dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan erosi lebih lanjut terhadap kepercayaan publik pada proses demokratis dan pada akhirnya membawa kematian bagi demokrasi itu sendiri," katanya.

Esensi dari demokrasi, menurutnya lagi, adalah partisipasi aktif dan pilihan yang bebas. Ketika demokrasi kehilangan esensinya, sistem ini tidak lagi mampu memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan calon pemimpin. 

Masih dipaparkannya, partai politik yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi masyarakat justru kehilangan kemandirian dan cenderung hanya mengikuti tren populer. Fenomena calon tunggal menjadi bukti nyata hilangnya martabat demokrasi, karena pencalonan tersebut sering kali dilakukan dengan membeli dukungan partai-partai politik, bukan berdasarkan meritokrasi atau kemampuan calon tersebut.

"Ketika kekuatan kapital dan kekuasaan overdosis, pilihan demokratis menjadi sulit kembali. Masyarakat hanya disodori satu calon tanpa alternatif pemimpin, menciptakan kebuntuan politik yang merugikan. Kartel politik yang terlalu dominan mengakibatkan partai politik tidak mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk memimpin rakyatnya," imbuhnya.

Hal ini, diutarakannya, menyebabkan politik menjadi pragmatis, yang pada gilirannya mengakibatkan ekosistem demokrasi mengalami persoalan yang sangat berat.

Demokrasi mengharapkan partisipasi publik dan kemampuan para pemilih untuk menentukan pemimpin mereka. 

"Sistem ini juga mengharapkan adanya berbagai pilihan pemimpin, bukan hanya satu orang. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada pandangan Socrates yang dijabarkan dalam karya Plato. Socrates berpendapat bahwa seorang penguasa haruslah dipilih berdasarkan keahlian, kebajikan, pengetahuan, dan pemahaman mendalam tentang tugas-tugas pemerintahan," ujarnya.

Pandangan Socrates ini, dijelaskannya, relevan dengan kondisi demokrasi kita saat ini. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya dipilih karena popularitasnya, tetapi juga karena karakter dan rekam jejak yang baik. 

"Pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki tanggung jawab moral dan mampu menjalankan kebaikan sebagai landasan dalam mengatur wilayah atau daerah tempat mereka menjabat. Partai politik memiliki peran krusial dalam sistem demokrasi," sebutnya 

"Mereka seharusnya bukan menjadi dealer kekuasaan, tetapi penyalur aspirasi rakyat. Sayangnya, dalam banyak kasus, partai politik lebih memilih untuk mengakomodasi nafsu melanggengkan kekuasaan daripada mencari dan mendukung calon pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat," tambahnya. 

Ketika partai politik kehilangan kemandirian dan hanya mengikuti tren populer, mereka gagal menjalankan tugas utama mereka. Mereka tidak lagi mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki karakter yang berpihak kepada kepentingan publik. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam pilihan-pilihan yang terbatas dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa kebaikan.

"Alternatif pemimpin adalah hal yang esensial dalam demokrasi. Dengan adanya beberapa pilihan, masyarakat dapat menentukan pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan problem-problem masyarakat. Ketika hanya ada satu calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih," urainya. 

"Mereka hanya dihadapkan pada satu pilihan tanpa alternatif, yang berbahaya bagi kesehatan demokrasi.

Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang bagi munculnya berbagai alternatif pemimpin. Partai politik harus mampu menghadirkan calon-calon yang memiliki karakter dan kemampuan untuk memimpin rakyat," tambahnya.

Dikatakannya juga, mereka harus bekerja sama dengan masyarakat untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat dan memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil.

"Untuk mengembalikan esensi demokrasi, kita harus memastikan bahwa sistem Pilkada memberikan ruang bagi munculnya berbagai alternatif pemimpin," katanya.

Partai politik harus memiliki kemandirian dan tidak terjebak dalam kepentingan kapital dan kekuasaan. Mereka harus mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki karakter yang berpihak kepada kepentingan publik.

"Pemerintah dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat. Pemerintah harus memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil, tanpa intervensi dari kelompok kepentingan tertentu," sebutnya.

Masyarakat, disampaikannya, harus aktif terlibat dalam proses politik dan tidak hanya menjadi penonton. Mereka harus kritis dan memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan, bukan hanya berdasarkan popularitas.

"Fenomena calon tunggal dalam Pilkada merupakan ancaman serius terhadap kualitas demokrasi kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan alternatif pemimpin yang berkualitas, dan ketika hanya ada satu calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar berpihak kepada kepentingan publik," tambahnya. 

"Partai politik harus memiliki kemandirian dan tidak terjebak dalam kepentingan kapital dan kekuasaan. Kita harus bekerja sama untuk mengembalikan esensi demokrasi, memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil, dan masyarakat aktif terlibat dalam proses politik," paparnya. 

Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan sebagaimana mestinya dan mampu membawa kebaikan bagi masyarakat. Selain itu, Implikasi dari fenomena ini tidak hanya memengaruhi kualitas demokrasi, tetapi juga kemampuan pemerintah dalam merespons masalah-masalah lokal secara efektif.

"Tanpa adanya kompetisi, calon tunggal tidak memiliki insentif untuk berinovasi atau memperbaiki diri, karena ketiadaan pesaing yang dapat menantang dan menguji kapabilitas serta kebijakan yang ditawarkan. Hal ini dapat berujung pada pemerintahan yang stagnan dan kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat," tutupnya.(san)

 


0 Komentar