Selasa, 04 Juni 2024 11:04 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengkritik keputusan pemerintah yang menerbitkan adanya program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang beberapa waktu lalu ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024.
Menurutnya, program tersebut membebani rakyat dan rawan dikorupsi. Said Iqbal menjelaskan setidaknya ada enam alasan menolak program Tapera tersebut. Pertama, kata dia, ketidakpastian memiliki rumah adanya program tersebut.
“Dengan potongan iuran sebesar 3% (tiga persen) dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi,” ujar dia lewat keterangannya, Minggu (2/6/2024).
Ia menilai pemerintah lepas dari tanggung jawab. Sebab, dalam PP Tapera itu tidak satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut membantu dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
“Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian, pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, di samping sandang dan pangan,” jelasnya.
Saiq Iqbal juga menilai adanya program Tapera itu hanya membebani biaya hidup para pekerja. Sebab, menurut dia, di tengah daya beli buruh yang turun 30% dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5% yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
Ia menjelaskan potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5% , iuran Jaminan Kesehatan 1%, iuran Jaminan Pensiun 1%, iuran Jaminan Hari Tua 2%, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5%.
“Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh,” tuturnya. Kemudian, kata dia, dengan adanya Program Tapera itu menimbulkan tindak pidana korupsi. Ia menyebut dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan.
“Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance). Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah,” tegas dia.
Ia menilai Tapera hanya tabungan yang memaksa. Pasalnya, pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT) dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menegaskan, Tapera hanya bentuk ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana. Untuk PNS, TNI, dan Polri, lanjut dia, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.
“Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera,” pungkasnya.(des)